(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Nur Laila Agustin

Kamis, 22 Agustus 2024 Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (AKHKI) telah mengadakan Focus Group Discussion (FGD) membahas mengenai Penghapusan Merek Tidak  Digunakan (Non-Use Registered Marks) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. FGD ini dibuka oleh Suyud Margono selaku Ketua Umum AKHKI, adapun Pemateri pertama disampaikan oleh Bapak Agung Indriyanto Selaku Ketua Tim Kerja Pemeriksaan & Layanan Teknis Merek – DJKI, Pemateri Kedua disampaikan oleh Bapak Ludiyanto sebagai Konsultan KI, Pengurus Komisi Etika Profesi – AKHKI.

Awal mula diajukannya permohonan pengujian undang-undang merek ke Mahkamah Konstitusi tersebut dilatarbelakangi permasalahan Ricky Thio, Pengusaha  Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang memiliki hak merek “HDCVI & LOGO” yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pemohon mempersoalkan inkonstitusionalitas Pasal 74 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG). Dalam ketentuan Pasal 74 UU MIG mengatur mengenai penghapusan merek terdaftar. Atas Permohonan yang telah diajukan, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi dalam Putusan Nomor 144/PUU-XXI/2023. Adapun ketentuan Pasal 74 UU MIG telah mengatur :

(1) Penghapusan Merek terdaftar dapat pula diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan dalam bentuk gugatan ke Pengadilan Niaga dengan alasan Merek tersebut tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir.

(2) Alasan Merek tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal adanya:

a. larangan impor;

b. larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang menggunakan Merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak yang berwenang yang bersifat sementara; atau

c. larangan serupa lainnya yang ditetap.

Ketentuan Pasal 74 UU MIG berdasarkan Putusan Nomor 144/PUU-XXI/2023

(1) Penghapusan Merek terdaftar dapat pula diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan dalam bentuk gugatan ke Pengadilan Niaga dengan alasan Merek tersebut tidak digunakan selama 5 (lima) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir

(2) Merek tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal adanya:

a. larangan impor;

b. larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang menggunakan Merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak yang berwenang yang bersifat sementara; atau

c. larangan serupa lainnya, termasuk dalam kondisi force majeure yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Hakim Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan melihat pentingnya dilakukan penyesuaian batas waktu non-use menjadi selama 5 (lima) tahun berturut-turut, juga berkaitan erat dengan waktu untuk pembatalan merek yang juga diatur jangka waktunya adalah 5 (lima) tahun sebagaimana termaktub dalam Pasal 77 ayat (1) UU MIG. Sekalipun antara penghapusan dan pembatalan merupakan hal yang berbeda, namun pengaturannya ditempatkan pada Bab “Penghapusan dan Pembatalan Merek” dalam UU MIG, sehingga keduanya memiliki konsekuensi hukum yang sama. Dengan demikian, tanpa bermaksud mengabaikan kecenderungan negara yang menganut civil law system, adanya penyesuaian batas waktu tidak digunakannya merek terdaftar adalah 5 (lima) tahun untuk memberikan keadilan bagi semua pemilik merek terdaftar sehingga tidak bertentangan dengan prinsip national treatment serta selaras dengan pengaturan yang terdapat dalam pembatalan merek.

Baca juga: Ikuti Seleksi Wawancara Calon Hakim Agung Kamar TUN Khusus Pajak Tahun 2024, Doni Budiono Siap Berhenti Sebagai Advokat Jika Terpilih

Sementara terkait dengan dalil konstitusionalitas Pasal 74 ayat (2) huruf c UU MIG, Hakim Konstitusi menilai norma tersebut masih mengandung ketidaklengkapan dalam mengatur alasan pengecualian. Sehingga penting adanya penegasan lingkup larangan serupa lainnya, seperti keadaan/kondisi force majeure, antara lain krisis ekonomi dan moneter, bencana alam, dan pandemi. Sebab, hal tersebut dapat mempengaruhi iklim perekonomian masyarakat, baik dari sisi pengusaha atau pemilik merek maupun konsumen. Sederhananya, keadaan/kondisi force majeure dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pemilik merek tidak dapat menggunakan merek yang terdaftar atau tidak dapat menjalankan usahanya secara normal. Oleh karena pentingnya keberadaan norma Pasal 74 ayat (2) UU MIG, Hakim Konstitusi memandang perlu untuk dilakukan penegasan lingkup “larangan serupa lainnya” dalam Pasal 74 ayat (2) huruf c UU MIG, termasuk keadaan/kondisi force majeure yang merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan dari alasan pengecualian dalam norma Pasal 74 ayat (2) UU MIG.

Menurut Suyud Margono, sebenarnya dalam Putusan Nomor 144/PUU-XXI/2023 objek perkaranya adalah Merek HDCVI, sementara dipahami HDCVI adalah singkatan dari High Definition Composite Video Interface. Oleh karena itu merek milik pemohon digugat oleh Perusahaan Tiongkok yaitu Zhejiang Dahua Technology CO., LTD. Jika melihat dalam Putusan Nomor 144/PUU-XXI/2023, yang melatar belakangi Pemohon mengajukan Permohonan Uji Materi Pasal 74 UU MIG ini dikarenakan pemohon digugat dengan perkara Nomor: 28/Pdt.Sus-HKI/Merek/2022/PN Niaga Jkt.Pst oleh Zhejiang Dahua Technology CO., LTD.

Dalam bahasan Pasal 74 ayat (1) UU MIG, Agung Indriyanto menjelaskan terkait penggunaan merek yang digunakan tidak sesuai dengan yang dimohonkan dan ketidaksesuaian pemakaian merek yang digunakan tidak sesuai dengan yang didaftarkan maka dianggap tidak digunakan, tetapi harus dilihat bagaimana penggunaannya dengan yang telah yang terdaftar. Selanjutnya, alasan force majeure dalam putusan tersebut yaitu alasan terdampak covid-19. Alasan covid-19 bukanlah alasan untuk dikatakan bisa tidak bisa menggunakan merek di pasaran, hal ini dikarenakan merek-merek tetap dapat digunakan untuk perdagangan barang/jasa dengan sistem penjualan online.

Baca juga: Pemeriksaan Sengketa Pajak di Pengadilan Pajak 

Implikasi terkait pasca Putusan Nomor 144/PUU-XXI/2023 secara praktik bahwa mekanisme penghapusan merek menjadi sulit hal ini dikarenakan banyak kejadian gugatan penghapusan hanya sedikit yang dikabulkan. Kemudian kondisi force majeure itu dapat diartikan sangat luas untuk dijadikan kualifikasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dalam praktik hukum perdata, force majeure memiliki beraneka macam jenis. Dalam putusan tersebut covid-19 dijadikan salah satu alasan force majeure oleh hakim meskipun tidak semua pemilik merek terhambat dengan adanya covid-19.

Menurut Ludiyanto, implikasi terkait pasca Putusan Nomor 144/PUU-XXI/2023 bagi pemilik merek meminta adanya relaksasi investasi khususnya bagi UMKM. Implikasi kepada Pengadilan Niaga yaitu proses pemeriksaan yang panjang terhadap pembuktian saat terjadi gugatan penghapusan merek. Implikasi bagi pihak ketiga yang berkepentingan yaitu lemahnya bukti non-use selama 5 (lima) tahun berturut-turut untuk dikumpulkan saat proses pembuktian, adanya hambatan investasi bagi pemilik merek asli.

Oleh karena itu, adanya putusan Nomor 144/PUU-XXI/2023 mengenai adanya perpanjangan masa non-use merek menjadi 5 (lima) tahun merupakan dukungan produk hukum terhadap pengusaha, khususnya UMKM. Namun, disisi lain dapat menjadi hambatan bagi pemilik merek yang sungguh-sungguh akan menggunakan merek tersebut di Indonesia.

Tag: Berita , Artikel , Konsultan Kekayaan Intelektual