Author: Putri Ayu Trisnawati
Anak tiri adalah anak salah seorang suami atau istri sebagai hasil perkawinannya dengan istri atau suaminya yang terdahulu. Pada dasarnya anak tiri hanya memiliki hubungan kewarisan dan keperdataan dengan orang tua sedarah. Adanya hubungan dengan orang tua sedarah tersebut dibuktikan dengan akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Menurut hukum waris di Indonesia, anak tiri pada umumnya tidak secara otomatis mendapatkan hak waris dari orang tua tiri mereka.
Sistem pembagian waris di Indonesia bisa dilakukan berdasarkan hukum perdata, hukum islam, maupun hukum adat. Warisan dan hak waris ketentuannya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Terdapat karakteristik masing-masing ketentuan waris pada kedua perundang-undangan tersebut. Dalam KUHPerdata dan KHI mengatur ketentuan mengenai pewaris, ahli waris serta perhitungan pembagian waris. Dalam KUHPerdata hak waris diatur dalam Buku II KUHPerdata dari Pasal 830 sampai Pasal 1130 yang berkaitan dengan hukum kebendaan.
Baca juga: Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Perdata
Dalam pembagian waris hukum perdata, Pasal 830 KUHPerdata harta waris baru terbuka apabila terjadi suatu kematian. Sementara menurut Pasal 832 KUHPerdata bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah adanya hubungan sedarah antara ahli waris dan pewaris, untuk suami dan istri yang memiliki ikatan perkawinan atau belum cerai. Selain itu, dalam pembagian waris KUHPerdata dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:
1.Golongan I keluarga yang ada dalam garis lurus kebawah yaitu suami atau istri yang hidup lebih lama, dan anak-anak yang ditinggalkan;
2.Golongan II keluarga yang ada dalam garis lurus ke atas, seperti orang tua dan saudara kandung;
3.Golongan III kakek, nenek, dan leluhur;
4.Golongan IV anggota keluarga yang berada pada garis kesamping dan keluarga lain hingga derajat keenam, seperti paman, bibi, serta saudara kakek dan nenek.
Mengenai hak waris anak tiri, Pasal 852 KUHPerdata menyatakan bahwa anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dari berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orang tua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus keatas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu. Maksud dari pasal tersebut yakni anak meskipun dilahirkan dari berbagai perkawinan, tetap mewaris asalkan ia ada hubungan darah dengan pewarisnya. Dengan demikian, jika suami memiliki anak dari pernikahan terdahulunya, dan si suami tersebut meninggal dunia maka anak tersebut akan mendapatkan bagian warisan yang sama besar. Lantas, bagaimana jika si istri (ibu tiri) yang meninggal?
Jika si istri (ibu tiri) yang meninggal, yang berhak menjadi ahli warisnya adalah anak kandungnya saja. Sementara anak tiri tidak mendapatkan bagian harta waris dari ibu tiri karena antara anak tiri dan si ibu tiri tidak memiliki hubungan darah. Apabila ibu tiri ingin memberikan warisan kepada si anak tiri harus membuat akta hibah wasiat kepada notaris untuk memberikan sebagian hartanya kepada anak tirinya sebelum meninggal dunia.
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menjelaskan adapun tentang anak tiri bukanlah ahli waris sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 171 KHI. Seorang anak tidak dapat saling mewarisi antara dirinya dengan orang tua tirinya, sebab mewarisi terbatas pada tiga sebab saja yaitu sebab kekerabatan (nasab/garis keturunan), perkawinan yang sah menurut islam, dan sebab memerdekakan budak.
Sama halnya pada hukum waris perdata, dalam hukum waris islam anak tiri diperbolehkan diberikan warisan melalui wasiat dari orang tua tirinya. Dalam Pasal 195 KHI syarat harta yang diberikan sebagai wasiat itu tidak melebihi 1/3 (satu pertiga) dari harta orang tua tirinya yang meninggal. Jika wasiatnya melebihi 1/3 (satu pertiga) maka pelaksanaannya harus mendapatkan persetujuan ahli waris lainnya. Sehingga, dalam hukum waris islam anak tiri tetap mendapatkan warisan meskipun bukan ahli waris dapat diberikan hibah wasiat (wasiat wajibah) dengan syarat tidak melebihi 1/3 (satu pertiga) harta warisan.
Baca juga: Pahami Syarat dan Prosedur Pembubaran CV
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kedudukan anak tiri dalam hal pembagian harta warisan baik secara hukum waris perdata maupun hukum waris islam tetap dapat diberikan harta warisan. Pemberian harta warisan tersebut dilakukan melalui akta notaris dengan membuat akta hibah wasiat dengan ketentuan dalam KHI bahwa harta warisan yang diberikan hanya 1/3 (satu pertiga) bagian harta warisan saja.