Author: Antonius Gunawan Dharmadji
Dalam dunia bisnis, setoran modal dari pemegang saham menjadi sumber pendanaan vital bagi pertumbuhan perusahaan. Namun, di balik skema investasi yang umum ini, terdapat celah yang dapat mengubah setoran modal menjadi utang perusahaan kepada pemegang saham. Salah satu kasus yang mencuri perhatian adalah kasus pailitnya PT. Alam Galaxy.
Pada tahun 2016, pemegang saham PT. Alam Galaxy menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) untuk menyetujui penambahan modal secara bertahap. Penambahan modal tersebut mencakup dua aspek utama. Pertama, peningkatan modal dasar perseroan dari Rp. 250.000.000.000,- menjadi Rp. 350.000.000.000,-. Kedua, peningkatan modal ditempatkan dan disetor perseroan dari Rp. 220.000.000.000,- menjadi Rp. 300.000.000.000,- yang akan disetor secara bertahap.
Berdasarkan RUPS tersebut, pemegang saham Abdurrazak Ashibilie atau Wardah dan Hadi Sutiono telah menyetor tambahan modal, yang dicatat sebagai Modal Saham Disetor Dimuka. Laporan keuangan tahun 2019 mengungkapkan bahwa Abdurrazak Ashibilie telah menyetor dana sebesar Rp 39.000.000.000 dan Hadi Sutiono sebesar Rp 59.113.000.000, akan tetapi saham mereka tidak mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan PT. Alam Galaxy tidak pernah melakukan penambahan modal perseroan serta tidak melaporkan adanya peningkatan modal perseroan kepada Menteri Hukum Dan HAM RI.
Baca juga: Pembuktian Sederhana Dalam Permohonan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Penambahan atau pengurangan modal Perseroan dikategorikan sebagai perubahan Anggaran Dasar (AD) tertentu dan harus mendapatkan persetujuan menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).
Lebih lanjut, Pasal 21 ayat (6), (8), dan (9) mengatur:
(6) Perubahan anggaran dasar tidak boleh dinyatakan dalam akta notaris setelah lewat batas waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Menteri, paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal akta notaris yang memuat perubahan anggaran dasar.
(8) ……..
(9) Setelah lewat batas waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (6) permohonan persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar tidak dapat diajukan atau disampaikan kepada Menteri.
Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya berjudul “Hukum Perseroan Terbatas” (Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan pertama, Juni 2009, halaman 201 dan 202), dijelaskan mengenai:
- Tenggang Waktu Pembuatan Akta Pernyataan Akta Notaris: Dijelaskan bahwa jika berita rapat yang berisi Keputusan RUPS atas perubahan AD tidak dimuat dalam Akta Notaris, maka berita acara rapat tersebut harus dinyatakan dalam Akta Notaris. Tenggang waktu pembuatan berita acara rapat harus dilakukan dalam bentuk Akta Notaris; paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS diambil.
- Tenggang Waktu Dilampaui: Jika perubahan AD hasil RUPS tidak dinyatakan dalam Akta Notaris dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari dari tanggal keputusan RUPS, akibatnya berita acara rapat yang berisi keputusan RUPS atas perubahan AD tidak boleh lagi dinyatakan dalam Akta Notaris. Dengan demikian, keputusan RUPS atas perubahan AD menjadi batal dan tidak mengikat lagi.
Nindyo Pramono berpendapat bahwa modal yang disetorkan di muka oleh Pemegang Saham bukan merupakan utang, melainkan bagian dari modal PT dan tunduk pada kesepakatan yang telah disepakati. Pemegang saham tidak berhak menuntut bunga atas modal yang telah disetorkannya.
Lebih lanjut, terkait pertanyaan tentang perlu atau tidaknya izin dari Menteri Nindyo Pramono, Ahli Perkara Nomor 54/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Sby menjelaskan bahwa tujuan penambahan modal adalah untuk meminta persetujuan Menteri agar dapat didaftarkan dan dimasukkan ke dalam Daftar Perseroan.
Namun, perlu dicatat bahwa Daftar Perseroan memiliki fungsi utama sebagai sarana publikasi, bukan sebagai bukti keabsahan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).
Jika Pemegang Saham merasa dirugikan, mekanisme penyelesaiannya bukan melalui PKPU, melainkan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU PT.
Terhadap permasalahan tersebut, Majelis Hakim yang memutus perkara nomor 54/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Sby mengesampingkan pendapat Nindyo Pramono dan berpendapat bahwa dana/penambahan modal yang disetorkan oleh Abdurrazak Ashibilie atau Wardah dan Hadi Sutiono kepada PT. Alam Galaxy, sebagaimana tercatat dalam Laporan Keuangan PT. Alam Galaxy Tahun Buku 2019 sebagai Modal Saham Disetor Di Muka atas nama pemegang saham Abdurrazak Ashibilie atau Wardah dan Hadi Sutiono, sebesar Rp.39.000.000.000,- dan sebesar Rp 59.113.000.000,-, dikategorikan sebagai utang.
Kasus PT. Alam Galaxy menyoroti pentingnya transparansi dan kepatuhan terhadap prosedur hukum dalam proses penambahan modal perusahaan. Ketidakpatuhan terhadap aturan, seperti penambahan modal dasar yang tidak diberitahukan maupun disetujui oleh Kementerian Hukum dan HAM, dapat mengakibatkan konsekuensi hukum yang signifikan. Jika pemegang saham telah melakukan penagihan, setoran modal tersebut dapat dikategorikan sebagai utang perusahaan. Untuk menghindari sengketa serupa di masa depan, perusahaan perlu memastikan bahwa setiap keputusan RUPS dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan didokumentasikan secara benar.
Tag: Berita , Artikel , Kurator dan Pengurus