Author: Ihda Aulia Rahmah, S.H.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU Kepailitan dan PKPU), mendefinisikan kepailitan sebagai sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Tujuan dari adanya kepailitan adalah untuk membagi harta debitor pailit kepada para kreditornya sebagai bentuk pelunasan utang debitor kepada kreditor, dengan kata lain bahwa debitor tidak dapat melanjutkan usahanya lagi. Hal tersebut berbeda dengan PKPU yang dimaksudkan untuk mencapai perdamaian antara debitor dengan para kreditornya dengan sistem pembayaran yang telah disepakati sehingga debitor dapat terus melanjutkan usahanya. Dengan kata lain tujuan dari PKPU adalah untuk memungkinkan seorang debitor meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran pembayaran dan untuk menghindari kepailitan (Andani & Pratiwi, 2021:636).
Dalam pengajuan permohonan kepailitan jika merujuk pada Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU maka setidaknya harus memenuhi syarat yakni debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Apabila memenuhi syarat tersebut maka debitor akan dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Dalam Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU selanjutnya juga mengatur bahwa “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terpenuhi” (Andani & Pratiwi, 2021:637).
Baca juga: Status Hukum Harta Debitor Pailit Yang Terikat Perkawinan
Maksud dari pembuktian secara sederhana lazim tersebut diatas dikenal juga sebagai pembuktian secara singkat. Dalam hal ini pembuktian sederhana dalam UU Kepailitan dan PKPU adalah apabila permohonan pernyataan pailit diajukan maka proses pemeriksaan permohonan kepailitan cukup dilakukan secara sederhana tanpa harus mengikuti atau terikat prosedur dan sistem pembuktian yang diatur dalam hukum acara perdata (Andani & Pratiwi, 2021:642). Meskipun demikian dalam perkembangan hubungan keperdataan muncul masalah terkait pembuktian sederhana kepailitan yakni sulitnya untuk mengukur mudah atau tidaknya suatu keadaan adanya utang, disamping tidak ada ketentuan yang menjadi parameter sederhana. Permasalahan ini kemudian mendorong hakim mau tidak mau untuk mengabulkan permohonan pailit sepanjang ada fakta utang dan utang tersebut jatuh waktu (Budiono, 2018:118).
Sistem pembuktian sederhana dalam kepailitan tersebut diatas telah banyak memberikan kerugian atau ketidakadilan khususnya terhadap debitor berbentuk perusahaan yang potensial. Pailitnya perusahaan-perusahaan potensial yang masih solven atau memiliki keadaan keuangan yang sehat, secara mikro akan membawa dampak terhadap nasib tenaga kerja/karyawan, dan stakeholder lainnya (Zulaeha, 2015:177). Oleh karenanya kemudian diperlukan perlindungan khusus bagi perusahaan-perusahaan yang masih potensial dengan jumlah karyawan yang besar yang dinyatakan pailit. Sutan Remy Sjahdeini, menyebutkan setidaknya empat kepentingan masyarakat yang harus dilindungi secara proporsional oleh Undang-undang Kepailitan, yakni (Zulaeha, 2015:179): 1) Kepentingan negara yang hidup dari pajak yang dibayar oleh debitor; 2) Kepentingan masyarakat yang memerlukan kesempatan kerja dari debitor; 3) Kepentingan masyarakat yang memasok barang dan jasa kepada debitor; 4) Kepentingan masyarakat yang tergantung hidupnya dari pasokan barang dan jasa debitor, baik selaku konsumen maupun pedagang.
Baca juga: Perseroan Terbatas Beserta Direkturnya, Dapat Dimohonkan Pailit Sekaligus!
Meskipun demikian, hakim pada dasarnya harus menerapkan asas pembuktian sederhana dengan memperhatikan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan serta tujuan dari UU Kepailitan dan PKPU yaitu agar perkara kepailitan dan PKPU dapat terselenggara secara cepat, adil, dan terbuka (Andani & Pratiwi, 2021:653). Untuk memberikan perlindungan hukum tersebut, hakim sudah seyogyanya secara cermat dan hati-hati dalam menggunakan sistem pembuktian sederhana sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 8 ayat (4) jo pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU.
Tag: Berita , Artikel , Kurator dan Pengurus