Author: Selvia Ananda Tri Avista
Istilah insolvensi tidak dapat dilepaskan dalam kepailitan. Pengertian insolvensi dalam Penjelasan Pasal 97 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UU KPKPU) dijelaskan sebagai keadaan debitor tidak mampu membayar utang. Sementara itu, Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan (hal. 154-155) menyebutkan bahwa keadaan insolvensi adalah suatu keadaan di mana perusahaan selaku debitor tidak dapat membayar semua hutang pada seluruh kreditornya.
Terdapat dua jenis insolvensi, yaitu insolvensi neraca (balance sheet insolvency) dan insolvensi arus kas (cash flow insolvency). Insolvensi neraca terjadi ketika utang perusahaan atau perorangan melebihi nilai aset yang dimiliki. Sementara itu, insolvensi arus kas terjadi saat suatu perusahaan atau perorangan sebenarnya memiliki aset yang lebih besar dari jumlah utangnya, namun tidak mampu membayar utang-utang tersebut tepat pada waktu jatuh tempo. Kondisi ini disebabkan ketidakseimbangan antara arus masuk dan arus keluar kas (Sutan Remy, 2016:156).
Baca juga: Urgensi Insolvency Test Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia
Keadaan insolvensi pada debitor pailit banyak dianut sebagai syarat kepailitan di banyak negara dengan sistem hukum common law, tetapi Indonesia tidak menganut persyaratan tersebut dalam pengajuan permohonan pailit. Persyaratan permohonan pailit di Inodnesia telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU, yaitu adanya minimal 2 (dua) utang dengan 1 (satu) utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih yang tidak dibayar, serta dapat dibuktikan secara sederhana.
Sebagai konsekuensi tidak diatur syarat insolvensi dalam UU KPKPU mengakibatkan terbukanya ruang untuk mengajukan perdamaian meskipun debitor telah diputus pailit. Pranata ini memungkinkan debitor yang berada dalam kondisi solven tidak perlu dilakukan pemberesan. Insolvensi dalam hukum kepailitan di Indonesia barulah terjadi apabila terpenuhinya kondisi sebagaimana diatur dalam Pasal 178 ayat (1) UU KPKPU, yaitu: 1) Dalam rapat pencocokan piutang, debitor tidak menawarkan perdamaian; 2) Rencana penawaran perdamaian tidak diterima oleh rapat kreditor; 3) Pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah berkekuatan hukum tetap.
Apabila salah satu kondisi yang dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1) UUKPKPU terjadi, maka kurator sudah dapat memulai untuk melakukan pemberesan terhadap harta pailit. Status insolvensi harta pailit juga mengakibatkan berakhirnya masa stay (masa tunggu) bagi kreditor separatis yang dinyatakan dalam Pasal 59 ayat (1) UU KPKPU: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1).”
Baca juga: Pemberesan Harta Pailit Oleh Kurator
Dengan demikian insolvensi dalam hukum kepailitan di Indonesia bukan sebagai syarat dalam permohonan pailit, melainkan memiliki pengertian sebagai kondisi debitor tidak mampu going concern karena alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 178 ayat (1) UU KPKPU. Kondisi insolvensi mengakibatkan berakhirnya masa stay kreditor separatis dan dimulainya tugas pemberesan kurator.
Tag: Berita , Artikel , Kurator dan Pengurus