(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Putri Ayu Trisnawati

Era perdagangan bebas saat ini sangat bergantung kepada kebijakan internasional untuk melindungi perdagangan dan industri dalam negeri tetap bertahan. Dalam perdagangan internasional, nilai ekspor dan impor sangat memengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kebijakan perdagangan internasional yang yang dapat diterapkan pada negara berupa pembebanan tarif bea masuk. Dengan pembebanan tarif tersebut, diharapkan volume dan nilai impor turun, produksi industri dalam negeri naik, sehingga akan terjadi pertumbuhan ekonomi industri dalam negeri. Sebaliknya dalam hal ekspor, kebijakan dikenakan terhadap industri yang diberikan subsidi dan dumping. Tujuan dari kebijakan internasional tersebut adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan melindungi kepentingan dalam negeri.

Dalam perdagangan internasional, kadangkala negara memberikan anggaran khusus untuk meningkatkan nilai ekspor berupa subsidi. Subsidi adalah pemberian anggaran kepada industri dengan tujuan meningkatkan produksi supaya dapat bersaing pada pasar luar negeri. Selain itu, negara juga memberikan kebijakan dumping yaitu upaya menjual barang di luar negeri dengan harga yang lebih murah daripada harga dalam negeri. Dumping terjadi karena ada kebijakan suatu negara memberikan subsidi kepada industri tertentu. Kebijakan dumping tersebut dapat menimbulkan kerugian pada negara tujuan ekspor.

Impor barang yang mendapatkan dumping akan bersaing dengan mudah terhadap barang produksi dalam negeri dalam segi harga, sehingga dapat merugikan industri dalam negeri. Barang yang diberlakukan dumping diimpor dengan harga lebih murah akan merusak pasaran produk dalam negeri, akibatnya produsen dalam negeri akan merasa dirugikan. Untuk mencegah terjadi persaingan harga pasar dalam negeri, Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan anti-dumping terhadap produk yang diimpor dalam negeri. Kebijakan tersebut berupa pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD). Dasar diberlakukannya tindakan anti-dumping di Indonesia merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Anti-Dumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.

Baca juga: Sengketa Kepabeanan Atas Surat Penetapan Kembali dan/atau Nilai Pebean

Tujuan diberlakukan kebijakan anti-dumping untuk mengurangi jumlah importasi produk yang dilakukan dumping. Dengan dikenakan BMAD, diharapkan praktik dumping mendapatkan hambatan untuk masuk ke pasar dalam negeri. Jika importasi dikenakan BMAD, biaya perolehan barang menjadi semakin tinggi dan persaingan atas produk di dalam negeri menjadi semakin sehat. Pemberlakuan kebijakan anti-dumping di Indonesia ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terhadap komoditi barang impor tertentu.

Sebagai contoh, penetapan barang yang dikenakan anti-dumping dalam PMK Nomor: 58/PMK.011/2012 tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping Terhadap Impor Produk Keramik Berupa Perangkat Makan, Perangkat Dapur, Peralatan Rumah Tangga Lainnya, dan Peralatan Toilet, dari Republik Rakyat Tiongkok yang berlaku pada tanggal 24 April 2012. Dalam PMK tersebut pengenaan BMAD terhadap barang impor berupa perangkat makan dan perangkat dapur dari porselin atau tanah liat cina pada pos tarif 6911.10.00.00, perlengkapan rumah tangga lainnya dan peralatan toilet dari porselin atau tanah liat cina pada pos tarif 6911.90.00.00 dan perangkat makan, perangkat dapur, perlengkapan rumah tangga lainnya dan peralatan toilet dari keramik pada pos tarif 6912.00.00.00 dikenakan Bea Masuk Anti Dumping sebesar 87% (delapan puluh tujuh persen).

Pengenaan BMAD terhadap barang impor merupakan hasil penyelidikan dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yaitu otoritas yang dibentuk Pemerintah Republik Indonesia untuk menangani permasalahan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan importasi barang dumping dan barang mengandung subsidi. KADI sebagai lembaga yang melindungi industri dalam negeri dari praktik dagang yang tidak adil (unfair trade) melakukan penyelidikan untuk membuktikan ada atau tidaknya praktik dumping dan subsidi yang dilakukan oleh produsen maupun importir negara asal barang. Selain itu, KADI juga melakukan evaluasi terhadap pengenaan BMAD yang masih berlaku yang bertujuan untuk melihat efektifitas pengenaan BMAD dan dampaknya terhadap importasi serta produksi industri dalam negeri.

Besaran bea masuk dan jangka waktu pengenaan BMAD yang ditetapkan dalam PMK terhadap komoditi barang tertentu yang sejenis dengan produksi dalam negeri pun bervariasi. PMK yang mengatur besaran tarif bea masuk sesuai dengan rekomendasi Menteri Perdagangan berdasarkan laporan akhir hasil penyelidikan yang dikeluarkan oleh KADI. Sehingga, dalam pengenaan BMAD terhadap barang impor membutuhkan waktu yang cukup lama karena KADI harus melakukan penyelidikan atas laporan produsen dalam negeri terhadap barang impor yang dianggap mendapatkan subsidi dan damping dari negara asal barang.

Dalam sengketa kepabeanan, pengenaan BMAD dapat dilihat dalam putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.50260/PP/M.VII/19/2014. Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian dokumen kepabeanan terhadap barang impor berupa Porcelain Ware (Table Wire) dengan pos tarif 6911.10.00.00 sesuai dengan PIB tanggal 11 Mei 2012. Atas penelitian dokumen importasi tersebut, Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok menerbitkan Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor: SPKTNP-165/KPU.01/2013 tanggal 11 April 2013. Dalam SPKTNP tersebut Pejabat Bea dan Cukai menetapkan bahwa atas importasi tersebut dikenakan Bea Masuk Anti Dumping sebesar 87% (delapan puluh tujuh persen) sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam impor sebesar Rp. 140.492.000 (seratus empat puluh juta empat ratus sembilah puluh dua ribu rupiah).

Menurut Pemohon Banding, harga ekspor yang diperoleh dari barang impor in casu tidak lebih rendah dari nilai normalnya dan tidak menyebabkan kerugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Namun, dalam pertimbangan Majelis Hakim disebutkan bahwa berdasarkan PMK Nomor: 58/PMK.011/2012 tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping Terhadap Impor Produk Keramik Berupa Perangkat Makan, Perangkat Dapur, Peralatan Rumah Tangga Lainnya, dan Peralatan Toilet, dari Republik Rakyat Tiongkok yang berlaku pada tanggal 24 April 2012, barang impor berupa  Porcelain Ware (Table Wire) termasuk dalam barang perlengkapan rumah tangga lainnya dari porselin atau tanah liat cina yang diklasifikasikan pada pos tarif 6911.10.00.00 dikenakan Bea Masuk Anti Dumping sebesar 87% (delapan puluh tujuh persen). Sehingga, permohonan banding yang diajukan oleh Pemohon Banding ditolak seluruhnya oleh Majelis Hakim dan diwajibkan untuk membayar kekurangan bea masuk dan pajak dalam rangka impor sesuai pada SPKTNP.

Baca juga: Tarif Preferensi Dalam Skema Free Trade Agreements

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa BMAD dikenakan setelah dilakukan penyelidikan oleh KADI terhadap barang impor sejenis yang diproduksi dalam negeri. Dengan mengambil tindakan anti-dumping pada produsen atau eksportir yang terbukti melakukan praktik dumping, akan melindungi industri dalam negeri dari produk-produk impor. BMAD yang dikenakan terhadap barang impor merupakan aspek pencegahan dan perlindungan terhadap industri dalam negeri dari serbuan produk impor. Sehingga diharapkan dengan adanya kebijakan anti-dumping keberlangsungan aktifitas perdagangan internasional dalam rangka meningkatkan ekonomi nasional dan global dapat terwujud.

Tag: Berita , Artikel , Kuasa Hukum Pengadilan Pajak