Author: Novita Indah Sari
Perjanjian merupakan suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1313 Kitab Udang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Adapun menurut Subekti, perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sedangkan KRMT Tirtodiningrat memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang (Hernoko, 2014).
Baca juga: Pemutusan Perjanjian secara Sepihak, Wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum?
Keabsahan perjanjian ditentukan oleh syarat sah perjanjian yang telah ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, syarat sah perjanjian meliputi adanya:
1) Kesepakatan para pihak
2) Kecakapan para pihak
3) Suatu hal tertentu (objek perjanjian)
4) Sebab yang halal (objek perjanjian bukan suatu yang dilarang)
Secara teori syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena berkaitan dengan subjek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif, karena berkaitan dengan objek dari perjanjian atau perbuatan hukum yang dilakukan.
Konsekuensi hukum terhadap perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif adalah mengakibatkan perjanjian tersebut “dapat dibatalkan”. Adapun pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak sepakat secara bebas atau pihak yang tidak cakap hukum. Berdasarkan Pasal 1331 KUH Perdata menyebutkan bahwa, orang yang dinyatakan tidak cakap dapat menuntut pembatalan perjanjian yang telah ia buat dalam hal kuasa untuk itu tidak dikecualikan oleh undang-undang, namun orang yang cakap untuk mengikatkan diri tidak dapat mengemukakan sangkalan atas dasar ketidakcakapan. Adapun apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak dipenuhi, maka akan mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi “batal demi hukum”.
Istilah “dapat dibatalkan” dimaknai bahwa sebelum perjanjian dinyatakan batal atau diajukan pembatalan, maka semua perbuatan dan tindakan hukum dalam perjanjian tersebut dianggap sah sampai ada pihak yang membatalkan (Suparna Wijaya, 2022: 86). Perjanjian masih memiliki kekuatan hukum mengikat dan tetap eksis selama tidak ada pihak yang mengajukan pembatalan terhadap perjanjian. Artinya jika tidak ada pembatalan dari para pihak, maka perjanjian tersebut masih berlaku dan harus dilaksanakan. Sebagai contoh perjanjian jual beli yang dilakukan oleh orang dewasa dan anak-anak merupakan salah satu contoh perjanjian yang dapat dibatalkan. Hal ini karena anak-anak pada dasarnya tidak memenuhi unsur kecakapan hukum. Namun karena tidak ada pihak yang membatalkan, maka perjanjian jual beli tersebut tetap sah.
Baca juga: Asas-Asas Perjanjian dalam KUH Perdata
Terhadap istilah “batal demi hukum” berarti bahwa dari semula perjanjian dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah lahir. Artinya perjanjian tersebut dari awal dianggap tidak pernah eksis. Sehingga perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat dan tidak bisa dilaksanakan. Apabila tetap dilaksanakan maka akan berakibat perjanjian tersebut bertentangan dengan hukum. Sebagai contoh jual beli narkoba merupakan perjanjian yang batal demi hukum. Hal ini karena objek perjanjian tersebut merupakan sesuatu yang dilarang oleh hukum.