(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Novita Indah Sari

Perjanjian merupakan kesepakatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk saling mengikatkan diri. Perjanjian ini tunduk pada asas-asas hukum yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Dari banyaknya asas yang ada, setidaknya terdapat 5 (lima) asas fundamental yang berkaitan dengan hukum perjanjian. Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith), dan asas kepribadian (personality).

Pertama, asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yaitu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian; mengadakan perjanjian dengan siapa pun; menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; serta menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan (Muhtarom, 2014: 51). Keberadaan asas ini diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Jika dilihat kebebasan berkontrak ini mengacu pada kata “semua” yang mengindikasikan bahwa semua orang bebas untuk membuat atau melakukan perjanjian. Namun kebebasan ini tidak mutlak, tetapi harus disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan  (Fransiska, 2022).

Baca juga: Perbedaan “Batal Demi Hukum” dengan “Dapat Dibatalkan” dalam Perjanjian

Kedua, asas konsensualisme (concensualism) yaitu asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Keberadaan asas ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Pasal tersebut menentukan bahwa salah satu syarat sah perjanjian adalah adanya kata sepakat atau kesepakatan antara kedua belah pihak.

Ketiga, asas kepastian hukum (pacta sunt servanda) yaitu asas yang berkaitan erat dengan akibat dari perjanjian. Asas ini mengandung arti bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh kedua pihak harus ditaati kedua pihak tersebut layaknya undang-undang. Asas pacta sunt servanda lahir dari doktrin praetor Romawi yaitu pacta conventa servabo yang memiliki arti saya menghormati atau menghargai perjanjian  (Jamil, 2020: 1048). Dalam KUH Perdata asas ini diatur dalam Pasal 1338 yang menyatakan,

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Keempat, asas itikad baik (good faith) yaitu berkaitan dengan niat dari para pihak dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan pihak lain dalam perjanjian maupun tidak merugikan kepentingan umum. Menurut Ridwan Khairandy, itikad baik sudah harus ada sejak fase prakontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak  (Khairandy, 2003: 190). Dalam KUH Perdata asas ini termaktub dalam Pasal 1338 yang mengatur bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Artinya para pihak dalam perjanjian harus melaksanakan substansi perjanjian atau prestasi berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh serta kemauan baik dari para pihak agar tercapai tujuan perjanjian (Muayyad, 2015: 124).

Kelima, asas kepribadian (personality) yaitu asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan atau membuat perjanjian hanya dapat untuk kepentingan perorangan saja. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1315 yang menyatakan bahwa:

Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”.

Selain itu asas ini juga diatur dalam Pasal 1340 KUH Perdata yang menyatakan,

Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.

Artinya perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun ketentuan di atas bukan berate mutlak. Terdapat pengecualian terhadap asas kepribadian. Hal ini tercantum dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang berbunyi:

Dapat pula diadakan perjanjian untuk kepentingan orang ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain mengandung suatu syarat semacam itu”.

Pasal tersebut mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan. Kemudian hal tersebut diperkuat dalam Pasal 1318 KUH Perdata yang tidak hanya mengatur perjanjian  untuk diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Dengan demikian asas kepribadian dalam perjanjian dapat dikecualikan apabila perjanjian tersebut dilakukan seseorang untuk orang lain yang memberikan kuasa bertindak hukum untuk dirinya atau orang tersebut berwenang atasnya  (Muhtarom, 2014: 53).

Baca juga: Penentuan Usia Dewasa Atau Cakap Hukum Menurut Peraturan Perundang-Undangan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa asas-asas perjanjian terutama –asas fundamental yang telah dijabarkan pada paragraf sebelumnya– ada untuk membantu pembentukan perjanjian yang baik dan sesuai peraturan perundang-undangan. Sehingga perjanjian yang dibuat secara hukum dapat terlindungi dengan baik. Oleh karena itu, dalam membuat perjanjian para pihak harus memperhatikan setidaknya lima asas perjanjian yang bersumber dari KUH Perdata di atas.

Tag: Berita , Artikel , Advokat