Author: Ihda Aulia Rahmah, S.H.
Dalam tindak pidana dibidang perpajakan, subjek hukum yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana tidak hanya terbatas pada wajib pajak. Hal ini tercermin dalam Pasal 43 ayat (1) UU KUP yang mengatur bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan”. Berdasarkan hal tersebut maka tidak ada pengecualian terkait sanksi yang diancamkan terhadap pelaku tindak pidana yang tercantum dalam Pasal 39 dan Pasal 39A UU KUP terhadap orang yang membantu tindak pidana pajak.
Hal ini berbeda dengan pengaturan pada umumnya dalam KUHP, dimana dalam KUHP tepatnya pada Pasal 57 ayat (1) disebutkan bahwa pihak yang membantu melakukan suatu tindak pidana hanya dapat dikenai maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga. Berbicara terkait tindak pidana “membantu melakukan” sendiri, R. Soesilo berpandangan bahwa orang “membantu melakukan” jika ia secara sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Menurutnya jika bantuan tersebut diberikan sesudah kejahatan dilakukan, maka orang tersebut melakukan perbuatan “sekongkol” atau “tadah” yang diatur dalam Pasal 489 KUHP (Roziwan, dkk, 2022:117).
Baca juga: Disparitas Pengenaan Sanksi Pidana Dalam Putusan Tindak Pidana Pajak!
Pembantuan dalam suatu tindak pidana harus dilakukan dengan unsur kesengajaan. Eddy O.S. Hiariej berpendapat bahwa tidak mungkin ada pembantuan jika tidak ada kesengajaan untuk membantu melakukan kejahatan. Secara tegas beliau menyatakan bahwa syarat mutlak adanya suatu pembantuan adalah kesengajaan. Menurutnya tidak mungkin suatu pembantuan dilakukan karena kealpaan. Kesengajaan dalam membantu melakukan ini hanya untuk membantu pelaku untuk mencapai tujuannya, tanpa memiliki tujuan sendiri (Labada, dkk, 2022:8-9). Dalam tindak pidana pajak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 43 ayat (1) UU KUP yang disebutkan sebelumnya terhadap ketentuan tindak pidana pajak yang tercantum dalam Pasal 39 dan 39A UU KUP juga berlaku pada pihak lain yang membantu tindak pidana perpajakan.
Salah satu contoh putusan yang berkaitan dengan pihak lain yang berperan membantu melakukan tindak pidana pajak ini adalah Putusan Nomor 486/Pid.Sus/2021/Pn.Jkt.Brt. Dimana dalam putusan tersebut terdakwa Nuni Prihatiningsih didakwa oleh penuntut umum dengan Pasal 39A huruf a jo. Pasal 43 ayat (1) UU KUP terkait perbuatannya sebagai pihak lain yang membantu melakukan tindak pidana pajak berupa menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya. Tindak pidana pajak berupa menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak tidak berdasarkan transaksi sebenarnya tersebut tercantum secara jelas dalam Pasal 39A UU KUP yang terhadapnya diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Majelis Hakim berdasarkan pada fakta persidangan menyatakan bahwa terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dalam tindak pidana Pasal 39A huruf a UU KUP sebagai pihak lain yang membantu melakukan tindak pidana pajak. Namun, dalam pertimbangannya Majelis Hakim menyebutkan bahwa terhadap pidana denda, selain pidana penjara Majelis Hakim berpendapat tidak perlu dijatuhkan kepada terdakwa. Dengan pertimbangan bahwa terdakwa dalam perkara ini hanya berperan sebagai membantu dan bukan pelaku utama, sedangkan pelaku utama para wajib pajak yang telah dibantu oleh terdakwa juga telah membayar kekurangan yang tidak disetor ke Kas Negara dan juga membayar denda administrasi pada saat melakukan pembetulan, sehingga kerugian pada pendapatan negara akibat tindak pidana perpajakan yang dilakukan dengan pembantuan dari terdakwa telah terbayar.
Baca juga: Apakah Penyanderaan (Gijzeling) Bagi Wajib Pajak Termasuk Sanksi Pidana?
Berdasarkan hal tersebut kemudian Majelis Hakim memutuskan untuk menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun tanpa pidana denda terhadap terdakwa yang telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membantu menggunakan Faktur Pajak Yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya secara berlanjut. Menurut penulis adanya putusan ini belum mencerminkan tujuan dari adanya ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yakni pemulihan pendapatan negara. Seharusnya yang pidana penjara merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir yang dapat diberlakukan terhadap pelaku tindak pidana pajak. Sehingga dalam hal apabila pemulihan kerugian terhadap pendapatan negara tersebut telah dilakukan, maka tidak perlu lagi dijatuhkan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana pajak di bidang perpajakan.
Link Putusan: https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaec1abee7f2e71c93bf313633323537.html