Author: Amarullahi Ajebi, S.H.
Pajak merupakan sumber utama pendapatan bagi suatu negara, pajak digunakan untuk membiayai proyek pembangunan serta pengeluaran-pengeluaran yang dibutuhkan negara. Tanpa adanya pajak, negara kesulitan dalam menjalankan roda pemerintahannya (Sari, 2013:40). Namun, kenyataannya pemungutan pajak tidak selalu berjalan dengan baik, karena banyak wajib pajak yang tidak patuh dengan kewajibannya sebagai wajib pajak. Maka, Pemerintah membuat suatu mekanisme yang memaksa wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya. Salah satunya adalah mekanisme penyanderaan (gijzeling).
Penyanderaan (gijzeling) terdapat dalam Pasal 1 angka 21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak Atas Sejumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar (PMK No.189/2020) yakni Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu. Hal tersebut diperlukan untuk mengantisipasi wajib pajak yang berusaha menghindar dari kewajibannya, tindakan tersebut berpotensi merugikan keuangan negara karena kehilangan pemasukannya dari pajak. Sanksi penyanderaan dapat dikenakan kepada wajib pajak apabila telah ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (Naiboha, 2016:6).
Baca juga: Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana di Bidang Pajak Concursus Realis
Pada dasarnya penyanderaan merupakan alat paksa hukum perdata, bukan suatu hukuman pidana penjara sebagaimana yang diatur dalam hukum pidana, meskipun penyanderaan merampas kemerdekaan seseorang. Dalam hukum administrasi, memaksa (bestuursdwang) dilakukan oleh pemerintah untuk mengupayakan terpenuhinya suatu kewajiban yang tidak dilakukan oleh wajib pajak. Tindakan penyanderaan dapat berhenti, apabila wajib pajak telah melunasi utang pajak yang menjadi kewajibannya. Penyanderaan merupakan upaya hukum terakhir (ultimum remedium) yang dapat diterapkan kepada wajib pajak yang tidak ada itikad baik untuk melunasi kewajibannya. Pelaksanaan penagihan pajak yang dilakukan oleh fiskus diupayakan sebisa mungkin melalui sarana administrasi yang berlaku. Jika upaya yang dilakukan melalui administrasi telah dilaksanakan dan tidak berhasil dilakukan, maka tindakan penagihan utang pajak melalui penyanderaan dapat dilakukan (Sirait, 2020:15).
Penyanderaan yang terdapat dalam hukum pajak berbeda dengan perampasan kemerdekaan yang terdapat dalam hukum pidana. Penyanderaan tidak dilakukan karena wajib pajak atau penanggung pajak melakukan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan, melainkan karena wajib pajak belum melunasi utang pajaknya, serta tidak berhasil dilakukan upaya paksa secara administrasi terhadapnya. Adapun syarat dan tata cara penyanderaan diatur dalam Pasal 58 ayat (1) PMK No. 189/2020 yakni tindakan penyanderaan dapat dilakukan terhadap penanggung pajak dalam hal: (a) mempunyai utang pajak paling sedikit Rp. l00.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan (b) diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
Itikad baik penanggung pajak diragukan apabila, tidak melunasi utang pajak baik sekaligus maupun angsuran, walaupun telah mendapatkan surat paksa. Selain itu, tidak adanya itikad baik juga dinilai apabila penanggung pajak menyembunyikan atau memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai, termasuk akan membubarkan badan, setelah timbulnya utang pajak. Untuk menjalankan penyanderaan fiskus harus mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan (Menkeu), berdasarkan permohonan tersebut Menkeu akan menerbitkan izin penyanderaan. Berdasarkan Pasal 59 ayat (3) PMK No. 189/2020, permohonan izin penyanderaan paling sedikit memuat beberapa hal, antara lain: (a) identitas penanggung pajak; (b) alasan penyanderaan; dan (c) lamanya penyanderaan.
Baca juga: Implementasi Sanksi Pidana Denda Dalam Tindak Pidana Perpajakan
Setelah mendapatkan izin penyanderaan dari Menkeu, maka pejabat yang berwenang akan mengeluarkan Surat Perintah Penyanderaan. Surat ini memuat identitas, alasan dan izin penyanderaan. Selain itu, surat perintah ini juga memuat jangka waktu dan tempat penyanderaan. Lamanya penyanderaan diberikan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak penanggung pajak ditempatkan atau dititipkan dalam tempat penyanderaan sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (3) PMK No. 189/2020. Jangka waktu ini dapat diperpanjang, apabila hingga berakhirnya waktu penyanderaan, penanggung pajak tidak/belum melunasi utang pajaknya. Perpanjangan penyanderaan diberikan paling lama 6 (enam) bulan dan terhitung sejak penyanderaan sebelumnya berakhir.