Author: Ihda Aulia Rahmah, S.H.
Disparitas dapat diartikan sebagai ketidaksetaraan hukuman antara kejahatan yang serupa (same offence) dalam kondisi atau situasi serupa (comparable circumstances). Adanya disparitas pengenaan sanksi pidana sejatinya merupakan hal yang wajar. Mengingat hampir tidak ada perkara yang memang benar-benar sama. Disparitas pengenaan sanksi pidana dapat menuai permasalahan apabila rentang perbedaan hukuman yang dijatuhkan antara perkara serupa sedemikian besar, sehingga menimbulkan ketidakadilan serta dapat menimbulkan kecurigaan-kecurigaan di masyarakat. Sehingga adanya kajian atau pembahasan terkait disparitas pengenaan sanksi pidana dalam ilmu hukum tidak ditujukan untuk menghapuskan perbedaan besaran hukuman terhadap para pelaku kejahatan, namun memperkecil rentang perbedaan penjatuhan (ICW, 2014:9-10).
Disparitas pengenaan sanksi pidana ini umumnya merupakan kewenangan yang diberikan kepada hakim sebagai wujud kebebasan hakim dalam bertindak, yakni terhadap vonis yang akan dijatuhkan meskipun putusan tersebut dianggap tidak adil baik bagi pelaku maupun bagi masyarakat (Mulyana, 2021:99). Dalam hal tindak pidana di bidang perpajakan, disparitas pengenaan sanksi pidana sangat mungkin terjadi. Sebab ancaman hukuman dalam tindak pidana perpajakan dapat dikenakan secara stelsel alternatif maupun stelsel kumulatif dengan pola pemidanaan minimum dan maksimum khusus. Hal tersebut kemudian memberikan kewenangan kepada hakim untuk leluasa dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan sesuai batasan minimum dan maksimum khusus yang diatur (Shultony, 2019).
Baca juga: Apakah Penyanderaan (Gijzeling) Bagi Wajib Pajak Termasuk Sanksi Pidana?
Berikut setidaknya terdapat beberapa putusan dalam tindak pidana perpajakan yang mencerminkan adanya disparitas pengenaan sanksi pidana dalam putusan tindak pidana pajak, yakni:
- Putusan Nomor 486/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Brt
Menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun kepada terdakwa karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membantu menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya secara berlanjut. Sebelumnya penuntut umum mendakwa terpidana dengan Pasal 39A jo Pasal 43 ayat (1) UU KUP.
- Putusan Nomor 213/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Brt
Menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan kepada terdakwa karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya, yang dilakukan secara berlanjut”. Terdakwa juga didakwa menggunakan Pasal 39A jo Pasal 43 ayat (1) UU KUP.
Selain pidana penjara, Majelis Hakim juga menjatuhkan pidana denda terhadap terdakwa sebesar 2x dari kerugian negara yang diakibatkannya. Jika Terdakwa tidak membayar denda tersebut paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta benda milik Terdakwa dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar denda, dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar denda, maka Terdakwa dijatuhi hukuman kurungan pengganti denda selama 6 (enam) bulan.
- Putusan Nomor 212/Pid.Sus/2021/PN Jkt.Brt
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara 2 (tahun) dan 6 (enam) bulan karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja turut serta menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya, yang dilakukan secara terus menerus sebagai perbuatan berlanjut. didakwa menggunakan Pasal 39A jo Pasal 43 ayat (1) UU KUP. Selain itu, Terdakwa juga dijatuhi pidana denda sebanyak 3x kerugian negara yang diakibatkannya. Jika Terdakwa tidak membayar denda tersebut paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta benda milik Terdakwa dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar denda, dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar denda, maka Terdakwa dijatuhi hukuman kurungan pengganti denda selama 6 (enam) bulan.
Dari ketiga putusan tersebut diatas, keseluruhannya didakwa menggunakan Pasal 39A jo Pasal 43 ayat (1) UU KUP yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja: (a) Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau (b) Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.”
Melihat hal tersebut maka dalam Putusan Nomor 486/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Brt pengenaan sanksi pidana berupa penjara 2 (dua) tahun sudah sesuai dengan batas minimum sanksi yang diatur dalam Pasal yang didakwakan yakni 2 (dua) tahun. Selanjutnya terdapat kejanggalan mengingat seharusnya sanksi yang diberikan menggunakan stelsel kumulatif atau dibarengkan dengan sanksi pidana denda, tetapi dalam putusan ini Terdakwa hanya dijatuhi hukuman pidana. Kemudian dalam Putusan Nomor 213/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Brt dan Putusan Nomor 212/Pid.Sus/2021/PN Jkt.Brt menjatuhkan sanksi pidana kumulatif antara sanksi pidana penjara dan denda kepada Terdakwa. Dimana sanksi penjara dalam kedua putusan tersebut sama yakni 2 (tahun) dan 6 (enam) bulan dan sesuai dengan batas minimum dari Pasal yang didakwakan.
Meskipun demikian antara kedua putusan tersebut terdapat perbedaan dalam sanksi pidana denda yang dijatuhkan. Dalam Putusan Nomor 213/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Brt Terdakwa dijatuhi sanksi pidana denda sebanyak 2x jumlah kerugian negara yang diakibatkannya, sedangkan dalam Putusan Nomor 212/Pid.Sus/2021/PN Jkt.Brt 3x jumlah kerugian negara yang diakibatkannya. Penjatuhan pidana denda Putusan Nomor 213/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Brt telah sesuai dengan batas minimum Pasal 39A UU KUP, sedangkan penjatuhan pidana denda pada Putusan Nomor 212/Pid.Sus/2021/PN Jkt.Brt telah melampaui batas minimum dari sanksi denda dalam ketentuan Pasal 39A UU KUP tetapi belum melewati batas maksimum batas sanksi dendanya.
Baca juga: Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana di Bidang Pajak Concursus Realis
Berdasarkan hal tersebut maka dapat diketahui adanya disparitas penjatuhan sanksi pidana denda pada Putusan Nomor 213/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Brt dan Putusan Nomor 212/Pid.Sus/2021/PN Jkt.Brt. Kemudian antara kedua putusan tersebut juga memiliki disparitas dengan Putusan Nomor 486/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Brt, karena dalam putusan ini sanksi pidana denda tidak dijatuhkan kepada Terdakwa. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, umumnya disparitas putusan dalam pemidanaan merupakan hal yang wajar dilakukan dengan berdasar pada norma hukum yang ada dan juga tidak mencederai rasa keadilan serta tidak menghilangkan kemanfaatan hukum itu sendiri. Tujuan utama dari adanya sanksi pidana dalam bidang perpajakan adalah untuk pemulihan penerimaan negara. Sehingga seharusnya disparitas putusan dalam tindak pidana pajak juga mengedepankan hal tersebut. Disparitas putusan pidana di bidang perpajakan membawa problematik tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Meski cukup problematik disparitas pemidanaan sulit untuk dihapuskan sebab keyakinan hakim lebih mendahulukan sifat keterbukaan dan melaksanakan tugas hakim sebagai penjatuhan putusan tindak pidana (Shultony, 2019).
Download:
Putusan Nomor 486/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Brt
Putusan Nomor 213/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Brt