(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Stefanus Kurniawan Dharmadji, S.H.

Secara umum, peninjauan kembali merupakan keadaan dimana wajib pajak masih merasa belum puas dengan putusan banding yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Pajak, maka wajib pajak dapat mengajukan peninjauan kembali yang ditujukan kepada Mahkamah Agung sebagai hak yang dimiiki oleh wajib pajak. Berdasarkan Pasal 89 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.

Permohonan peninjauan Kembali hanya dapat diajukan dengan alasan-alasan tertentu, salah satu alasan yang sering digunakan oleh Pemohon Peninjauan Kembali adalah apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 91 huruf e UU Pengadilan Pajak). Dalam artikel ini, penulis akan mengulas salah satu contoh putusan peninjauan kembali atas sengketa pajak terhadap wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa (transfer pricing).

Baca juga: Bolehkah Pengajuan Peninjauan Kembali Perkara Pajak Lebih Dari Satu Kali?

Dalam Putusan Nomor 3576/B/PK/Pjk/2020 yang telah diputus Mahkamah Agung tanggal 28 September 2020, terhadap PT. Panganmas Inti Persada sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dan Direktur Jenderal Pajak sebagai Termohon Peninjauan Kembali. Majelis Hakim Agung yang memeriksa dan memutus sengketa peninjauan kembali telah memberikan putusan mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali dan membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-82437/PP/M.IIB/16/2017, tanggal 30 Maret 2017 serta mengadili kembali dengan mengabulkan permohonan banding dari Pemohon Banding.

Pokok sengketa peninjauan kembali tersebut adalah koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa masa pajak Mei 2012 sebesar Rp. 3.625.022.500,- yang dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Pemohon Peninjauan Kembali merasa keberatan dengan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (SKPKB PPN) Masa Pajak Mei 2012 Nomor 00036/207/12/522/14 tanggal 17 Juni 2014 dan terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-2773/WPJ.32/2015 tanggal 4 Agustus 2015 tentang Keberatan Wajib Pajak atas SKPKB PPN tersebut.

 Dalam pemeriksaan peninjauan kembali Pemohon Peninjauan Kembali telah menyampaikan memori peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali juga telah menyampaikan kontra memori peninjauan kembali untuk menyampaikan alasan-alasan terhadap pokok sengketa. Pada pokok sengketa terhadap koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa masa pajak Mei 2012 tersebut berhubungan dengan Pemohon Peninjauan Kembali yang mempunyai hubungan istimewa (transfer pricing).

Sebelum membahas lebih jauh, perlu diketahui tentang apa itu transfer pricing. Dalam buku transfer pricing (Darussalam, Danny Septriadi dan Bawono Kristiaji, 2013) dijelaskan bahwa secara konsep transfer pricing dari perspektif perpajakan, transfer pricing adalah suatu kebijakan harga dalam transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Arnold dan McIntyre menjelaskan harga transfer adalah harga yang ditetapkan oleh wajib pajak pada saat menjual, membeli, atau membagi sumber daya dengan afiliasinya.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dapat dibenarkan, karena Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-82437/PP/M.IIB/16/2017, tanggal 30 Maret 2017 adalah yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam perkara a quo ternyata terdapat kekeliruan dalam penerapan hukum dan kekhilafan secara nyata-nyata di dalamnya, karena in casu Pemohon Peninjauan Kembali telah melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah sesuai dengan hak dan kewajiban dalam hukum perpajakan melalui 3 (tiga) pilar hukum administrasi yang mencakup kewenangan, prosedur dan substansi hukum yang benar.

Majelis Hakim Agung berpandangan bahwa dalam rangka mewujudkan keadilan hukum maka diperlukan untuk menegakkan asas pilihan hukum apabila terjadi benturan kaidah hukum substansif dengan kaidah hukum yang sama dan bersifat secara kausistis berupa equalisasi atas peredaran usaha yang telah dipertimbangkan secara hukum tidak dapat dipertahankan pada PPh Badan Tahun Pajak 2012 atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2012 Nomor 00007/406/12/522/14, tanggal 17 Juni 2014 yang tertuang dalam Register perkara Mahkamah Agung Nomor 3550/B/PK/PJK/2020.

Bahwa karena yang menjadi objek sengketa berupa koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Mei 2012 sebesar Rp. 3.625.022.500,- yang telah dipertimbangkan berdasarkan fakta, bukti-bukti dan penerapan hukum serta diputus dengan kesimpulan tetap dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak ternyata terdapat error facti dan error jurist. Dengan demikian Majelis Hakim Agung berpendapat untuk membatalkan putusan a quo dan mengadili kembali.

Majelis Hakim Agung berpandangan, penerbitan keputusan Termohon Peninjauan Kembali tidak dilakukan berdasarkan kewenangan hukum dan secara terukur dalam rangka penyelenggaraan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) khususnya asas kepastian hukum dan asas kecermatan yaitu didalilkan terdapat data penjualan kepada distributor independen dengan harga yang jauh berbeda dengan penjualan kepada distributor utama (afiliasi), sehingga langkah yang dilakukan Termohon Peninjauan Kembali dengan membandingkan harga jual kepada distributor afiliasi dengan harga jual kepada distributor independen, termasuk penjualan/pemakaian sendiri tidak memiliki dasar pijak hukum karena bertentangan dengan kaidah norma penentuan atas nilai wajar sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-22/PJ/2013 Tentang Pedoman Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

Baca juga: Mengenal Ketentuan Judex Factie dan Judex Juris Dalam Sistem Peradilan Perpajakan Di Indonesia

Bahwa Perdirjen No. PER-22/PJ/2013 memiliki tujuan untuk memperkecil risiko distorsi penerimaan perpajakan akibat upaya penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional yang melakukan aktivitas bisnis dengan pihak afiliasi lintas negara, sehingga koreksi a quo tidak memiliki dasar pijak hukum yang memiliki validitas norma, oleh karenanya koreksi Termohon Peninjauan Kembali tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 29 berikut Penjelasan Pasal 29 ayat (2) alinea ketiga Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo. Pasal 2 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai jo. Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Baca selengkapnya: Putusan Nomor 3576/B/PK/Pjk/2020

Tag: Berita , Artikel , Kuasa Hukum Pengadilan Pajak