Author: Nur Laila Agustin, S.H.
Banyak pelaku usaha di Indonesia yang melakukan pendaftaran mereknya agar mendapat perlindungan hukum. Namun dengan banyaknya pendaftaran merek maka diikuti pula dengan banyaknya sengketa merek yang terjadi, terutama dalam hal pelanggaran hak atas merek. Seperti contoh dalam sengketa merek GoTo yang telah diputus pada Tanggal 2 Juni 2022 dengan Nomor Putusan : 71/Pdt.Sus-HKI/Merek/2021/PN Niaga Jkt.Pst.
Sengketa merek antara PT. Terbit Financial Technologi (sebagai penggugat) dengan PT. Aplikasi Karya Anak Bangsa (sebagai Tergugat I), PT. Tokopedia (sebagai Tergugat 2), dan Kementrian Hukum dan HAM RI cq Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual cq Direktorat Merek dan Indikasi Geografis (sebagai Turut Tergugat). Dalam hal ini Penggugat mengajukan gugatan mengenai pelanggaran hak atas variasi merek GOTO milik penggugat yang terdaftar dengan Nomor: IDM000858218, Kelas 42.
Baca juga: Apakah Adaptasi Film Luar Negeri Termasuk Pelanggaran Hak Cipta?
Adapun isi gugatan yang menyebabkan Penggugat harus menerima hasil kekalahan dalam hasil putusan majelis hakim dikarenakan terdapat salah satu petitumnya pada nomor 10 yang tidak relevan/tidak patut dimintakan oleh penggugat bersamaan dengan gugatan pelanggaran merek, yang berbunyi: “Memerintahkan Turut Tergugat untuk menolak permohonan pendaftaran merek “GOTO” atau segala variasinya yang diajukan oleh Tergugat I, yaitu….”. Karena petitum nomor 10 tersebut adalah erat kaitannya dengan proses yang masih berjalan secara terpisah pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual c.q Direktorat Merek dan Indikasi Geografis (in casu Turut Tergugat).
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (selanjutnya disebut UU Merek) secara tegas mengatur bahwa pemeriksaan substantif merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemeriksa (dalam hal ini Pemeriksa adalah pejabat fungsional pada Turut Tergugat). Lebih lanjut, Pasal 24 ayat (1) dan (6) UU Merek secara tegas mengatur bahwa suatu penentuan permohonan merek dapat didaftar/ditolak, dilakukan oleh Pemeriksa yang dikuatkan oleh Menteri Hukum dan HAM (dalam hal ini ialah ranah Turut Tergugat). Dengan melihat ketentuan tersebut proses penerimaan/penolakan atas suatu permohonan merek mutlak menjadi wewenang Turut Tergugat sebagaimana diamanatkan oleh UU Merek. Terkait petitum penggugat nomor 10 pada pokoknya Tergugat I dan Tergugat II mengajukan Eksepsi mengenai kewenangan mengadili (kompetisi absolut).
Dalam pertimbangan majelis hakim dasar gugatan Penggugat yang menggabungkan antara gugatan pelanggaran merek dan gugatan pembatalan merek terdaftar sebagaimana diuraikan dalam putusan, maka sesuai dengan yurisprudensi sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 17 November 2020 Nomor 32/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst, dan yurisprudensi sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 22 Juni 2020 Nomor: 525K/Pdt.Sus-HKI/2020, yang salah satu pertimbangannya sebagai berikut: “Bahwa gugatan Penggugat yang telah mencampur adukan antara gugatan pelanggaran merek dengan gugatan pembatalan merek adalah tidak tepat sehingga menjadikan gugatan kabur oleh karena gugatan pelanggaran merek menggunakan konstruksi hukum Pasal 83 UU Merek berdasarkan alasan menggunakan mereknya secara tanpa hak dengan tuntutan ganti rugi dan atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek, tetapi tidak dapat menuntut pembatalan sertifikat merek milik Tergugat, karena terhadap gugatan pembatalan sertifikat merek telah diatur dan harus diajukan tersendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 76 dengan mendasarkan alasan pada Pasal 20 dan/atau 21 Undang Undang merek dengan tuntutan/akibat hukumnya pembatalan merek sehingga mencampur adukkan dua konstruksi hukum yang berbeda baik alasan dan akibat hukumnya merupakan pelanggaran tertib hukum acara oleh karenanya cukup alasan bagi MA untuk membatalkan putusan judex facti dan mengadili sendiri perkara a quo”
Proses penerimaan/penolakan atas suatu permohonan merek hanya dapat dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia cq. Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual cq. Direktorat Merek dan Indikasi Geografis. Oleh karenanya majelis hakim tidak memiliki kewenangan untuk menolak permohonan pendaftaran merek. Adapun eksepsi yang diajukan Tergugat I dan Tergugat II mengenai kewenangan mengadili (kompetensi absolut) dikabulkan dan pemeriksaan perkara tidak dilanjutkan, karena Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak memiliki wewenang memeriksa, dan mengadili perkara a quo (khusus untuk petitum nomor 10).
Baca juga: Implikasi Penerapan Prinsip First To File Dalam Sengketa Merek Gen Halilintar
Sehingga berdasarkan hal tersebut majelis hakim mengabulkan eksepsi mengenai kewenangan mengadili (kompetisi absolut) yang diajukan Tergugat I dan Tergugat II, dan menyatakan Pengadilan Niaga tidak memiliki wewenang mengadili perkara gugatan Hak Kekayaan Intelektual Merek Nomor : 71/Pdt.Sus-HKI/Merek/2021/PN Niaga Jkt.Pst. yang mana telah dijelaskan dalam Pasal 24 ayat (2) UU Merek jo. Pasal 27 huruf b Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia jo. Pasal 692 huruf a Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Tag: Berita , Artikel , Konsultan Kekayaan Intelektual