(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Antonius Gunawan Dharmadji, S.H.

 Penyebaran virus covid-19 telah menjadi pandemi global berdampak pada banyak sektor termasuk sektor dunia usaha. Akibatnya, banyak perusahaan dan perseorangan tidak dapat memenuhi kontrak/perjanjian yang telah dibuat selama virus tersebut menyebar di masyarakat. Dengan kata lain, terdapat potensi kontrak/perjanjian, transaksi bisnis atau kegiatan yang tertunda bahkan batal akibat penyebaran covid-19. Lalu yang menjadi persoalan adalah, apakah penyebaran covid-19 dapat dikategorikan sebagai force majeure?

Ricardo Simanjuntak dalam bukunya Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, halaman 506 menyebutkan bahwa “yang dimaksud dengan force majeure adalah suatu keadaan yang luar biasa yang berada diluar dari kekuasaan ataupun kemampuan normal manusia untuk mengatasinya, yang telah menimbulkan ketidakmampuan bagi pihak tersebut untuk melaksanakan prestasinya sesuai yang telah disepakati dalam suatu kontrak/perjanjian.” Oleh karena itu, pihak yang tidak dapat melakukan prestasi (pemenuhan hak dan kewajiban) akibat dari force majeure, demi hukum dikecualikan maupun dibebaskan dari kewajibannya untuk pemenuhan prestasi tersebut termasuk biaya ganti rugi.

Hal tersebut sejalan dengan Pasal 1245 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa: “Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.” Ketentuan Pasal 1245 KUH Perdata menggambarkan bahwa keadaan force majeure bukanlah ketentuan yang muncul berdasarkan kontrak, akan tetapi ketentuan yang muncul berdasarkan hukum (by law). Artinya, meskipun tidak diperjanjikan dalam kontrak, ketentuan force majeure oleh hukum tetap melekat dalam kontrak.

Baca juga: Aturan Pembatasan “Lockdown” UU Kekarantinaan Kesehatan

Sekalipun tidak ada kewajiban untuk penggantian biaya. kerugian dan bunga, namun pihak yang mendalilkan force majeure harus membuktikan keadaan tersebut. Ketentuan Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan bahwa: “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”

Ketentuan force majeure terbatas pada peristiwa-peristiwa memaksa yang menimbulkan dampak yang besar seperti bencana alam, perang, atau wabah penyakit. Lebih lanjut, menurut Ricardo, force majeure bisa berlaku ketika pembentuk undang-undang mengatur hal tersebut, seperti Presiden ataupun Gubernur. Presiden saat ini sudah menetapkan kebijakan social distancing sehingga masyarakat dilarang untuk keluar rumah, atau melakukan pekerjaan dari rumah saja (work from home). Akibatnya, segala aktivitas bisnis jadi terhambat, tidak hanya aktivitas bisnis dalam negeri melainkan aktivitas bisnis luar negeri juga terhambat akibat regulasi lockdown yang diterapkan oleh banyak negara. Berdasarkan itu, tepatlah bahwa virus covid-19 dikategorikan sebagai force majeure dalam dunia usaha.

Apabila virus covid-19 telah disepakati sebagai force majeure, pertanyaan yang timbul adalah, haruskah pelaku usaha menanggung sendiri risiko kerugian ataukah hukum memberi peluang penanggung ganti kerugian yang lebih ideal? Menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama harus dikembalikan kembali pada isi kontrak/perjanjian yang telah dibuat. Apabila tidak diatur secara khusus di dalam kontrak, maka sebaiknya kerugian ditanggung secara ideal dan proporsional.

Tag: Berita , Artikel , Advokat