(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Brillian Feza Eryan Prasetya, S.H.

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di Indonesia semakin terlihat menunjukkan eksistensinya ditengah berlangsungnya era demokrasi yang partisipatif saat ini. Hal tersebut diperkuat dengan adanya upaya memandirikan desa melalui UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Asas dan teknis penyelenggaraan Pilkades itu hampir mirip dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu).  Pilkades itu pihak penyelenggaranya berbeda dengan Pemilu.

Hal tersebut tentu dinilai mengkhawatirkan bagi pengaturan Pilkades, mengingat berdasarkan Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, menyebabkan Pemilihan Kepala Daerah dipisahkan dari rezim hukum Pemilu karena perbedaan konstitusionalitasnya. Hal tersebut secara yuridis menimbulkan suatu kondisi disharmoni hukum, yang berpotensi memicu terjadinya onrechtszekerheids (ketidakpastian hukum) di dalam pengaturan penyelenggaraannya.

Pada prinsipnya berdasarkan pertimbangan MK dalam putusan a quo, disatu sisi berupaya meneguhkan kepastian hukum sesuai Konstitusi UUD NRI Tahun 1945, tetapi disisi lain hal tersebut berdampak pula pada kekacauan pengaturan hukum terkait penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah. Hal tersebut mengingat bahwa pihak penyelenggara dalam Pemilihan Kepala Daerah itu tiada lain merupakan KPU Daerah, yang secara yuridis merupakan bagian daripada lembaga penyelenggara Pemilu di Indonesia. Hal tersebut perlu kiranya diperhatikan secara khusus agar di dalam sistematika pengaturan penyelenggaraan Pilkades tidak mengalami problematika serupa, khususnya secara yuridis maupun praktis.

Baca juga: Akibat Hukum Penggandaan VCD Tanpa Izin Dari Pemegang Hak Cipta

Berdasarkan Pasal 22E ayat (1) Konstitusi UUD NRI Tahun 1945, dapat dimengerti bahwa asas penyelenggaraan Pemilu ialah langsung, umum, bebas, jujur, dan adil (Luber dan Jurdil). Sedangkan menurut Pasal 34 ayat  (2) UU Desa, secara tegas menyatakan bahwa penyelenggaraan Pilkades itu bersifat Luber dan Jurdil, sebagaimana asas tersebut diatur pula dalam penyelenggaraan Pemilu. Berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UU Desa kemudian dapat dimengerti bahwa teknis penyelenggaraan Pilkades pada prinsipnya sama halnya dengan teknis penyelenggaraan Pemilu, yaitu dilaksanakan melalui pemilihan secara langsung.

Namun perlu diketahui bahwa, pihak penyelenggara kedua hal tersebut secara yuridis diatur secara berbeda. Pilkades diselenggarakan oleh Panitia Pilkades bentukan BPD (berdasarkan Pasal 32 ayat (2) UU Desa) dan Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang dikenal sebagai Komisi Pemilihan Umum/ KPU (berdasarkan Pasal 22E ayat 5 Konstitusi UUD NRI Tahun 1945). Pilkades dan Pemilu merupakan dua ihwal yang serupa namun tak sama. Serupa dalam ihwal keidentikan asas dan teknis, namun berbeda dalam hal pelaksana kegiatannya.

Berkaitan dengan adanya kesamaan beginsel atau asas antara Pilkades dan Pemilu, maka selanjutnya dapat dijelaskan mengenai kedudukan asas atau beginsel tersebut di dalam suatu peraturan hukum yang berlaku. Berdasarkan pendapat yang diutarakan oleh Sudikno Mertokusumo dari Klanderman mengenai fungsi asas hukum, maka dapat dimengerti bahwa kedudukan asas hukum memiliki dampak secara fungsional terhadap keberadaan hukum, baik secara yuridis maupun secara ilmiah. Secara yuridis, asas berfungsi untuk mengesahkan suatu hukum serta sebagai pelengkap dalam suatu sistem hukum. Sedangkan secara keilmuan asas berfungsi sebagai sarana memudahkan pemberian ikhtisar dan bersifat mengatur atau serta menjelaskan (Mochtar & Hiariej, 2021: 102-103).

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, kedudukan asas dalam hukum itu pada prinsipnya ialah sebagai suatu hal yang melengkapi sistem hukum secara mendasar dan juga memiliki daya pengaruh yang baik, bagi terwujudnya hukum yang berkeadilan. Jika kemudian dikaitkan dengan adanya kondisi kesamaan asas dalam pengaturan penyelenggaraan Pilkades dan Pemilu, maka pengaruh asas tersebut dapat dimaknai sebatas upaya untuk menyelaraskan sistem demokrasi di Indonesia yang dilakukan melalui pemilihan langsung. Namun, Sudikno Mertokusumo dalam tulisannya menegaskan bahwa apabila terjadi disharmoni dalam suatu peraturan hukum yang materi muatannya sama, maka hal tersebut diselesaikan berdasarkan asas yang mengaturnya (Mertokusumo, 2019: 8). Berdasarkan hemat penulis, dengan adanya kesamaan asas yang teknisnya diatur secara berbeda sebagaimana kondisi tersebut, maka akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan pengaturan penyelenggaraan sistem demokrasi di Indonesia secara integralistik.

Kemudian apabila melihat contoh Putusan Pengadilan mengenai sengketa Pilkades sebagaimana yang termuat dalam Putusan No. 93/G/2022/PTUN.SBY, maka dapat dimengerti bahwa terdapat hal-hal substansial terkait pembahasan ini, sebagaimana berikut ini: (1) Sengketa Pilkades yang objek sengketanya adalah berupa Keputusan Panitia Pilkades, tidak memenuhi unsur final sebagaimana ketentuan yang diatur Pasal 1 angka 9 UU PERATUN No. 51 Tahun 2009; dan (2) Objek sengketa Pilkades yang memenuhi unsur KTUN sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU PERATUN No. 51 Tahun 2009, dalam perkara a quo adalah Keputusan Bupati tentang Pengesahan dan Pengangkatan Kepala Desa Terpilih.

Hal tersebut secara prinsipal juga sama halnya dengan yang diteliti oleh Absori dan Brillian Feza Eryan Prasetya mengenai sengketa Pilkades yang terjadi di Desa Sinduadi, Sleman, Yogyakarta Tahun 2020  (Absori & Prasetya, 2021: 11-19). Di dalamnya dapat ditemukan pula penegasan yang menyatakan bahwa secara yuridis objek sengketa Pilkades ialah Keputusan Bupati/Walikota terkait, mengenai pengesahan dan pengangkatan Kepala Desa terpilih (berdasarkan penafsiran gramatikal terhadap Pasal 44 ayat (3) Permendagri No. 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa).

Baca juga: Apa Akibat Hukum Atas Pembatalan Sertifikat Merek yang Telah Dijaminkan Fidusia?

Jadi, berdasarkan pada uraian sebagaimana tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwasanya penyelesaian sengketa Pilkades merupakan kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara apabila objek sengketanya adalah terkait dengan Surat Keputusan Bupati yang terkait dengan pengesahan serta penetapan Kepala Desa terpilih. Meskipun hal tersebut bisa dilakukan seperti itu, namun di sisi lain secara normatif masih menyisakan permasalahan yang berkaitan dengan harmonisasi pengaturan sistem demokrasi di Indonesia. Hal tersebut tentu beralasan secara mendasar mengingat di satu sisi antara Pemilu, Pemilihan Kepala Daerah, dan Pilkades sama-sama berasaskan Luber dan Jurdil. Namun di sisi lain penyelesaian sengketa dan pihak penyelenggaranya berbeda dan secara yuridis konstitusional dapat dimengerti bahwa antara Pemilu, Pemilihan Kepala Daerah, dan Pilkades berasal dari rezim hukum yang berbeda-beda pula.

Download:

Putusan No. 93/G/2022/PTUN.SBY

Tag: Berita , Artikel , Advokat