(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Putri Ayu Trisnawati, S.H.

Dalam perkawinan telah terjalin hubungan hukum antara suami, istri dan anak yang dihasilkan dalam ikatan perkwainan. Masing-masing pihak baik suami dan istri memiliki hak dan kewajiban atas pengasuhan dan perawatan terhadap anak mereka, namun bagaimana kedudukan hukum seorang anak jika perkawinan tersebut dibatalkan? Sebelum membahas lebih jauh perlu diketahui apa yang dimaksud dengan pembatalan perkawinan. Pembatalan perkawinan adalah tindakan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan itu tidak sah. Akibatnya, perkawinan itu dianggap tidak pernah ada (Soedaryo, 1992:16). Pembatalan Perkawinan dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan ke Pengadilan setempat yang berwenang agar perkawinan yang telah dilakukan dibatalkan atau dinyatakan tidak sah.

Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) disebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Bagi mereka yang beragama Islam, pembatalan dilakukan di Pengadilan Agama, sedangkan bagi mereka yang beragama non-Islam, pembatalan dilakukan di Pengadilan Negeri. Kewenangan pembatalan perkawinan ada pada pengadilan tersebut mengingat pembatalan suatu perkawinan dapat membawa akibat hukum baik terhadap suami istri maupun terhadap keluarganya, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar pengadilan.

Baca juga: Proses dan Prosedur Pembuatan Perjanjian Perkawinan

Adapun alasan-alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan dalam Pasal 26 dan Pasal 27 UU Perkawinan yaitu sebagai berikut:

  1. Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang;
  2. Wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah;
  3. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi;
  4. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;
  5. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.

Sedangkan dalam Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditegaskan pula bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

  1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
  2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud;
  3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam idah dengan suami lain;
  4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
  6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pembatalan perkawinan dapat menimbulkan akibat hukum baik terhadap status suami istri, maupun terhadap anak-anak yang lahir dan pembagian harta bersama dari perkawinan tersebut. Menurut Pasal 35 UU Perkawinan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh oleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Akibat hukum Pembatalan Perkawinan juga berdampak terhadap kedudukan sah atau tidaknya seorang anak, baik sebagai hak mewaris anak terhadap orang tuanya ataupun hak perwalian anak. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 42 UU Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai dari akibat perkawinan yang sah.

Baca juga: Perjanjian Pra Nikah Terhadap Perolehan Harta Benda Bersama Sebelum Terjadinya Perkawinan

Dalam Pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan bahwa akibat hukum batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Meskipun telah terjadi pembatalan perkawinan, akibat hukumnya juga sampai menimbulkan kerugian bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 75 dan 76 Kompilasi Hukum Islam, dengan rumusan yang berbeda.

Pasal 75 KHI, mengatur:

“Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

  1. Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad;
  2. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
  3. Pihak ketiga, sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beri’tikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan yang tetap.

Pasal 76 KHI. mengatur:

“Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.”

Maksud dan tujuan dari Pasal 76 KHI adalah seorang anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang dibatalkan oleh pengadilan tetap memiliki hubungan hukum dengan orang tuanya hal ini untuk melindungi kemaslahatan dan kepentingan hukum serta masa depan anak yang dalam perkawinan antara ibu dan ayahnya dibatalkan. Anak-anak tersebut tidak dapat dibebani kesalahan akibat kekeliruan yang dilakukan kedua orang tuanya. Meskipun secara psikologis akan berpengaruh jika pembatalan perkawinan tersebut benar-benar terjadi yang akan membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi kepentingan anak-anak tersebut.

Tag: Berita , Artikel , Advokat