Author: Stefanus Kurniawan Dharmadji, S.H.
Dalam praktik sering ditemui berbagai produk yang dikeluarkan oleh Direktorat jenderal Pajak (DJP) dalam temuan adanya bukti permulaan tindak pidana perpajakan, yang meliputi: Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Surat Pemanggilan Wajib Pajak dan Surat Peminjaman Berkas atau Dokumen Dalam Rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan. Tidak sedikit wajib pajak yang tidak mengetahui tentang hak yang ia dapatkan dalam menerima surat dari DJP tersebut. Mayoritas wajib pajak hanya mempersoalkan tentang penyebab munculnya temuan DJP terkait bukti permulaan tindak pidana perpajakan yang terjadi tanpa mengetahui upaya apa yang dapat wajib pajak lakukan sebelum menjawab atau menanggapi surat dari DJP tersebut.
Sebelum menjawab atau menanggapi temuan adanya bukti permulaan tindak pidana perpajakan, ada baiknya terlebih dahulu wajib pajak harus memeriksa tentang keabsahan penerbitan surat yang diterbitkan oleh DJP tersebut. Salah satu yang dapat dilakukan oleh wajib pajak adalah memeriksa tentang identitas pejabat yang menerbitkan surat tersebut, apakah pejabat tersebut memiliki wewenang dalam penerbiatan surat tersebut atau tidak.
Dalam hal telah diterbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan, maka wajib pajak dapat memeriksa identitas pejabat yang menandatangani dan menerbitkan surat tersebut. Jika ternyata pejabat yang bertandatangan dan menerbitkan surat tersebut tidak memeliki wewenang maka wajib pajak dapat mengajukan upaya hukum yaitu Pra Peradilan kepada Pengadilan Negeri.
Pra peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus: 1) Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan; 2) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; 3) Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. (Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP); 4) Sah atau tidaknya penyitaan barang bukti (Pasal 82 ayat 1 huruf b KUHAP).
Salah satu contoh perkara Pra Peradilan yang dikabulkan adalah atas Putusan Nomor: 2/Pid.Pra/2021/PN Sag yang diputus oleh Pengadilan Negeri Sanggau pada tanggal 7 Juni 2021 yang diajukan oleh wajib pajak PT. Sawit Laju Mandiri (PT. SLM) sebagai Pemohon dan DJP sebagai Termohon. Garis besar perkara tersebut adalah PT. SLM merasa keberatan terhadap penerbitan Surat Nomor: PRIN.BP-2/WPJ.13/2021 tanggal 17 Februari 2021 perihal Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
Baca juga: Merangkai Legal Opinion dan Legal Due Diligence
Alasan Pemohon PT. SLM mengajukan Pra Peradilan adalah berdasarkan Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyebutkan: “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini: Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana”. Maka jika mengacu pada ketentuan Pasal 2 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka Surat Nomor: PRIN.BP-2/WPJ.13/2021 tanggal 17 Februari 2021 perihal Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah bersifat hukum pidana, oleh karenanya surat tersebut bukan sebagai objek Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dapat diajukan gugatan ke PTUN maupun Pengadilan Pajak.
Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang sudah ditentukan objek-objek gugatan yang dapat diajukan ke Pengadilan Pajak, yaitu: “Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap: a) Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; b) Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak; c) Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau d) Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Selanjutnya dalam Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana tersebut ternyata ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah DJP Kalimantan Barat atas nama Direktur Jenderal Pajak (mandat), dengan kop surat tertera “Kementerian Keuangan Republik Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak – Kantor Wilayah Djp Kalimantan Barat”. Bahwa Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana tersebut diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan, menyebutkan: “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan hasil pengembangan dan analisis informasi, data, laporan, dan pengaduan”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) PMK 239/PMK.03/2014 terlihat dengan jelas bahwa Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dimaksudkan untuk Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Dengan demikian pejabat yang berwenang, bertanggung jawab, dan bertanggung gugat untuk menerbitkan surat tersebut menurut maksud ketentuan Pasal 2 ayat (1) PMK 239/PMK.03/2014 adalah Direktur Jenderal Pajak. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan ini diberikan secara atribusi oleh Pasal 43A ayaat (1) UU KUP, menyebutkan: “Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan”.
Namun selain itu diketahui, Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Per-146/PJ./2018 tentang Pelimpahan Wewenang Direktur Jenderal Pajak Kepada Para Pejabat di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, yang pada Lampiran III angka 17 Per-146/PJ./2018 tersebut mengatur bahwa: “Wewenang Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan berdasar Pasal 43A UU KUP dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak”. Bahwa menurut ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan: “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”. Oleh karena Per-146/PJ./2018 dibentuk berdasarkan wewenang Direktur Jenderal Pajak, maka sebagaimana menurut ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 berakibat hukum bahwa Per-146/PJ./2018 termasuk kedalam pengertian perundang-undangan yang bersifat keharusan dan mutlak dilaksanakan baik didalam pengadilan maupun di luar pengadilan.
Dengan demikian, sekalipun Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan tersebut di tandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak yang merupakan atasan Kepala Kantor Wilayah, berakibat hukum bahwa Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan tersebut adalah cacat hukum. Hal ini karena Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Per-146/PJ./2018 telah mendelegasikan kepada wewenang Direktur Jenderal Pajak kepada Pejabat Kepala Kantor Wilayah DJP yang tidak dapat lagi digunakan.
Baca juga: Solving International Business Dispute “The Arbitration Method”
Berdasarkan alasan Pemohon PT, SLM tersebut, maka Hakim pada Pengadilan Negeri Sanggau mengabulkan seluruhnya permohonan Pra Peradilan yang diajukan oleh Pemohon dan menyatakan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Nomor: PRIN.BP-2/WPJ.13/2021 tanggal 17 Februari 2021 adalah tidak sah menurut hukum.
Demikian penjelasan kami terkait salah satu contoh putusan pengadilan yang pernah diputus terkait upaya Pra Peradilan terhadap surat perintah pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan. Tentu setiap Hakim dalam memutus suatu perkara memiliki pertimbangannya masing-masing yang mendasarkan pada peraturan yang berlaku. Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan bagi wajib pajak dan juga fiskus khususnya dalam persoalan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan.