Author : Ihda Aulia Rahmah
Putusan verstek adalah putusan yang diberikan tanpa kehadiran tergugat. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 125 ayat (1) HIR jo. Pasal 149 ayat (1) RBg. Menurut ketentuan tersebut, hakim dapat memberikan putusan tanpa kehadiran tergugat jika tergugat atau semua tergugat tidak hadir pada hari sidang yang ditentukan atau tidak mengirimkan jawaban, tidak mengirimkan wakil/kuasa yang sah untuk hadir, atau tidak mengirimkan jawaban. Selain itu, tergugat harus telah dipanggil secara sah dan patut, serta gugatan tersebut harus beralasan dan berdasarkan hukum.
Pihak tergugat yang merasa haknya dirugikan atas putusan verstek dapat menggunakan upaya hukum verzet. Sebaliknya, penggugat yang tidak puas dengan putusan verstek dapat mengajukan upaya hukum banding. Perlu dicermati bahwa tergugat tidak dapat mengajukan upaya hukum banding terhadap putusan verstek karena akan mengakibatkan cacat formil. Putusan Mahkamah Agung mengatur bahwa permohonan banding yang diajukan oleh tergugat terhadap putusan verstek tidak akan diterima, karena upaya hukum yang tersedia bagi tergugat terhadap putusan verstek adalah verzet, bukan banding (Sitorus, 2018:64-65).
Baca juga: Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia
Timbul pertanyaan apakah penggugat dan tergugat dapat secara bersama-sama mengajukan banding dan verzet terhadap putusan verstek. M. Yahya Harahap berpendapat bahwa tergugat tidak dapat mengajukan verzet jika penggugat mengajukan banding. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan. Pasal tersebut menegaskan bahwa tergugat yang menerima putusan di luar kehadirannya tidak dapat meminta pemeriksaan ulang, namun hanya dapat menggunakan upaya hukum verzet dalam tingkat pertama. Apabila penggugat mengajukan pemeriksaan ulang, tergugat tidak dapat menggunakan hak perlawanan dalam tingkat pertama (Walukow, 2020:148). Ketentuan ini juga diatur dalam Pasal 200 RBg yang menyatakan bahwa putusan di luar kehadiran tergugat (verstek) tidak dapat diajukan banding, namun jika penggugat mengajukan banding, tergugat terbanding dapat menggunakan semua pembelaannya dalam tingkat banding tanpa menggunakan hak perlawanannya dalam tingkat pertama.
Tertutupnya hak tergugat untuk mengajukan verzet jika penggugat melakukan banding menimbulkan kekhawatiran akan ketidakadilan. M. Yahya Harahap mengkritik ketentuan ini dengan mengatakan bahwa tergugat hanya dapat menggunakan kontra memori banding, yang pemeriksaannya tidak sekomprehensif pemeriksaan verzet di Pengadilan Negeri. Basuki Rekso Wibowo menyarankan agar upaya hukum yang lebih diutamakan adalah perlawanan (verzet) oleh tergugat. Pandangan tersebut muncul karena terhadap putusan verzet, kedua belah pihak dapat mengajukan upaya hukum banding, sehingga hak kedua belah pihak tetap terlaksana. Hal ini memperkuat prinsip keadilan dan menjaga keseimbangan antara hak-hak pihak yang terlibat dalam persidangan.
Sebagai upaya mengatasi potensi ketidakadilan yang timbul akibat terbatasnya hak tergugat untuk mengajukan verzet jika penggugat melakukan banding, pembaruan hukum acara perdata perlu dipertimbangkan. Suatu contoh, pihak tergugat dapat diberikan kesempatan untuk mengajukan verzet dalam waktu tertentu sebelum penggugat mengajukan banding. Hal ini bertujuan agar hak tergugat menggunakan upaya hukum verzet tetap terbuka, sementara penggugat nantinya tetap dapat mengajukan banding.
Baca juga: Kekuatan Eksekutorial Putusan Arbitrase di Indonesia
Hal penting lainnya adalah memperhatikan kebutuhan akan pemeriksaan yang komprehensif dalam upaya hukum. Jika tergugat tidak dapat mengajukan verzet karena penggugat telah mengajukan banding, maka kontra memori banding yang diajukan oleh tergugat harus diberikan perhatian yang serius oleh pengadilan tinggi. Pengadilan tinggi perlu melakukan pemeriksaan yang menyeluruh terhadap alasan-alasan yang diajukan oleh tergugat dalam kontra memori banding, untuk memastikan bahwa kepentingan dan argumen tergugat juga terwakili dengan baik.
Melalui pembaruan hukum acara perdata yang mempertimbangkan pandangan ini, diharapkan dapat menciptakan sistem yang lebih adil dan seimbang dalam menangani putusan verstek. Dengan demikian, hak-hak penggugat dan tergugat dapat tetap terlindungi, dan keadilan dapat tercapai dalam proses peradilan.