Author: Antonius Gunawan Dharmadji, S.H.
Pro dan kontra terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang disusun dengan menggunakan metode Omnibus Law memasuki persoalan baru. Salah satu materi muatan yang mendapat sorotan tajam terkait pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Materi muatan tersebut dapat ditemukan dalam RUU Cipta Lapangan Kerja Bab XIII Pasal 170 Ayat (1), yang mengatur “Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.” Selanjutnya, dalam ayat (2) diperjelas bahwa perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Rumusan Pasal 170 RUU Cipta Kerja pada dasarnya bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang secara eksplisit memberikan kekuasaan membentuk undang-undang kepada DPR. Sebaliknya Pemerintah selaku lembaga eksekutif hanya berwenang mengusulkan suatu undang-undang dan/atau membentuk peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Baca juga: Omnibus Law Sebagai Metode Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja
Merujuk Peraturan Presiden (Perpes) No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengamanatkan pejabat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk melakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan RUU yang akan diusulkan oleh pemerintah. Pasal 51 ayat (4) PP 87 Tahun 2014 adalah untuk menselaraskan RUU dengan Pancasila, UUD NRI 1945, dan undang-undang lainnya, serta memperhatikan kaidah teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hal tersebut maka, pengaturan Pasal 170 RUU Cipta Kerja tersebut menjadi pro dan kontra bersama bahwa pemerintah kurang cermat dalam melakukan proses harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan suatu RUU. Hal senada diungkapankan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) M. Mahfud MD, memperhatikan adanya kesalahan ketik pada ketentuan Pasal 170 RUU Cipta Kerja tersebut.
Kejadian ini memberikan pembelajaran bagi Pemerintah, bahwa suatu undang-undang tidak dapat dirumuskan dengan tergesa-gesa, terlebih RUU Cipta Kerja mempergunakan metode Omnibus Law yang secara masif mencabut ketentuan di berbagai undang-undang. Dengan demikian, diperlukan proses pengkajian yang mendalam dan mengikutsertakan partisipasi dari masyarakat untuk memberi masukan terhadap undang-undang yang sedang disusun,