(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Doni Budiono

(Managing Partner PDB Law Firm)

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 23/PUU-XIX/2021 telah menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UU KPKPU) bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK memberikan kesempatan kepada debitor mengajukan upaya hukum kasasi terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dengan proposal perdamaian dari debitor yang ditolak oleh kreditor.

Putusan MK tersebut berawal dari perkara PKPU PT. Sarana Yeoman Sembada yang telah diputus sebanyak 4 (empat) kali oleh Pengadilan Niaga Medan. Terhadap pengajuan PKPU tersebut 3 (tiga) permohonan PKPU yang diajukan telah ditolak, sedangkan permohonan ke-4 dikabulkan oleh Pengadilan Niaga Medan sekalipun permohonan PKPU diajukan oleh pemohon dan alat bukti yang sama.

Pembahasan tentang Putusan MK Nomor 23/PUU-XIX/2021 terfokus pada konsep PKPU itu sendiri. Dipahami bahwa kewajiban membayar utang telah melekat pada diri debitor sejak suatu perjanjian disepakati. Lebih lanjut, kehadiran Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek (BW) menjamin demi hukum seluruh harta debitor berada pada sita umum untuk memastikan bahwa hak dari kreditor terpenuhi (Moch Isnaeni, 2016:55).

Baca juga: Asas Nebis In Idem Tidak Berlaku Dalam PKPU

Pemenuhan kewajiban debitor dapat dilakukan secara sukarela (volunter) oleh debitor atau dapat menggunakan paksaan dari pengadilan. Pada umumnya, debitor yang beritikad baik akan melakukan kewajibannya secara sukarela namun terdapat pula debitor yang tidak melaksanakan kewajibannya karena berbagai alasan. Persoalan akan lebih luas jika ternyata debitor memiliki lebih dari 1 (satu) kreditor. Mengutip pendapat dari Ricardo Simanjuntak dalam pendidikan lanjutan yang diselenggarakan oleh Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) tanggal 25 Maret 2022 menjelaskan terhadap utang debitor secara kolektif dapat dilakukan 2 (dua) langkah, yaitu melalui kepailitan dan PKPU. Apabila ditelusuri bahwa debitor sudah tidak dalam kondisi yang sehat dan mampu membayar maka dipilihlah mekanisme kepailitan. Sementara itu mekanisme PKPU dipilih jika cara ini memungkinkan debitor untuk melakukan restrukturisasi utang kepada kreditor, sehingga pada saat debitor dinyatakan PKPU maka seluruh kreditor tidak boleh melakukan tagihan lagi.

Esensi mekanisme PKPU adalah memberikan jalan keluar bagi debitor untuk mampu memenuhi kewajibannya melalui musyawarah bersama dengan kreditor. Apabila rancangan perdamaian dari debitor ditolak atau musyawarah antara kedua belah pihak gagal maka sudah sewajarnya debitor dinyatakan pailit. Hal ini menjadi logis sebab kerugian yang dialami oleh kreditor atas gagal bayar dari debitor menjadi suatu hal yang tidak dapat dikesampingkan.

James Purba menjelaskan bahwa permasalahan sebenarnya adalah diperbolehkannya kreditor mengajukan PKPU yang diatur dalam Pasal 222 ayat (3) UU KPKPU. Lebih lanjut, menurut pendapat DPR pada perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021 menjelaskan bahwa tujuan pemberian kewenangan kepada kreditor untuk dapat mengajukan permohonan PKPU adalah untuk memberikan waktu kepada debitor mereorganisasi usahanya, sehingga dapat melanjutkan usahanya untuk membayar lunas utang-utangnya kepada seluruh kreditornya. Tujuan yang dimaksud tersebut tidak logis, sebab perlu dipahami bahwa tujuan utama dari kreditor adalah untuk menerima pelunasan dari utangnya dengan sesegera mungkin.

Pada saat debitor dianggap lalai dan tidak membayar utangnya langkah awal yang dilakukan oleh kreditor adalah mengajukan somasi agar debitor membayar utangnya. Tentu menjadi tidak relevan jika kreditor yang semula meminta debitor untuk sesegera mungkin membayar utangnya sebaliknya dikemudian hari mengajukan PKPU untuk memberikan kesempatan debitor menunda pembayaran utangnya. Permohonan PKPU lebih relevan jika pemohonnya adalah debitor. Ratio legis pemikiran tersebut adalah bahwa hanya debitor sendirilah yang paling mengerti kondisi untuk kapan mengajukan restrukturisasi utang kepada para kreditornya.

Ketentuan kreditor mengajukan permohonan PKPU kurang tepat, karena filosofi PKPU adalah sebagai penyeimbang bagi debitor dalam menghadapi kepailitannya (M. Hadi Shubhan, 2008:147). Secara prinsip ada 2 (dua) pola PKPU, yaitu PKPU merupakan tangkisan bagi debitor terhadap permohonan kepailitan yang diajukan oleh kreditor dan inisiatif dari debitor sendiri (M. Hadi Shubhan, 2008:147). Kedua pola tersebut PKPU menjadi penyeimbang atau sarana yang diberikan oleh undang-undang bagi debitor untuk membayar utang-utangnya tanpa harus dipailitkan. Dengan maksud keberadaan PKPU yang demikian semakin tidak berdasar jika PKPU diajukan oleh kreditor.

Ricardo Simanjuntak menyebutkan: “PKPU yang dapat diajukan kasasi akan meruntuhkan prinsip restrukturisasi, karena restrukturisasi dalam putusan Pengadilan Niaga bersifat serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad). Jadi jika putusan PKPU dapat diajukan kasasi, maka pada masa kasasi debitor tidak akan mengajukan proposal perdamaian.” Dalam kondisi tersebut akan menyulitkan posisi dari pengurus maupun kurator apabila debitor tidak mengajukan rencana perdamaian dan terjadi keadaan insolven maka sudah kewajiban kurator untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit, namun di waktu yang sama proses kasasi atas PKPU masih berjalan sehingga kurator juga menjadi ragu menjalankan tugasnya.

Hal tersebut hampir sama saat UU KPKPU memberikan kesempatan kepada debitor pailit untuk mengajukan perdamaian (Pasal 144 UU KPKPU), di waktu yang sama debitor diperbolehkan mengajukan kasasi (Pasal 11 UU KPKPU). Perbedaannya UU KPKPU masih memberikan perlindungan kepada kurator berdasarkan Pasal 16 ayat (2) UU KPKPU yang menyebutkan bahwa tindakan kurator tetap sah dan mengikat debitor sekalipun putusan pernyataan pailit dibatalkan oleh putusan kasasi. Kepastian hukum sebagaimana Pasal 16 UU KPKPU seperti ini tidak ada pada ketentuan permohonan PKPU yang diajukan kasasi.

Baca juga: Kenali Alasan MK Membatalkan Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS

Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) hanya memutus persoalan hukum (judex juris) dan tidak lagi memutus perkara yang sifatnya memeriksa fakta (judex factie). Dalam perkara proposal tidak disetujui oleh kreditor merupakan persoalan yang bersifat susbtansi berfokus pada isi proposal perdamaian itu sendiri dan tidak ada persoalan hukum di dalamnya. Oleh karenanya, tidak tercapainya kesepakatan dalam pengajuan proposal perdamaian bersifat fakta dan sudah sewajarnya debitor demi hukum menjadi pailit.

Ketiadaan upaya hukum apapun terhadap putusan PKPU pada hakekatnya sesuai dengan asas keseimbangan yang dianut dalam UU KPKPU antara debitor dan kreditor. Dalam hal permohonan PKPU ditolak, maka pengadilan harus menyatakan Debitor pailit. Seimbang dengan hal tersebut, apabila permohonan PKPU dikabulkan, Kreditor yang tidak menyetujuinya juga tidak lagi dapat mengajukan upaya hukum.

Adanya putusan MK Nomor 23/PUU-XIX/2021 tidak dapat dipungkiri telah menjadi sebuah fenomena baru dalam perkembangan hukum kepailitan di Indonesia. Maksud dari putusan ini untuk memberikan perlindungan kepada debitor agar tidak mudah dipailitkan oleh kreditor melalui mekanisme PKPU justru bertolak belakang dari prinsip restrukturisasi. Solusi atas hal tersebut seharusnya dapat dilakukan bukan dengan cara memberikan upaya hukum kasasi atas Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU KPKPU, melainkan menutup kesempatan kreditor mengajukan permohonan PKPU sebagaimana diatur dalam Pasal 222 ayat (3) UU KPKPU.

Tentang penulis:

Doni Budiono merupakan Managing Partner PDB Law Firm yang berprofesi sebagai Advokat, Konsultan KI, Kuasa Hukum Pengadilan Pajak & Kurator dan Pengurus

Tag: Berita , Artikel , Kurator dan Pengurus