(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Ihda Aulia Rahmah, S.H.

Kepailitan merupakan suatu konsep hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa tentang utang piutang yang timbul antara kreditor dan debitor. Secara etimologi kata kepailitan berasal dari kata “pailit” yang diambil dari bahasa Perancis “failite” dengan makna kemacetan pembayaran. Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) dalam Pasal 2 kepailitan di definisikan sebagai sita umum atas semua harta kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas (Zuleha, 2010:7).

Selain mengatur terkait makna dari kepailitan, dalam Pasal 208 ayat (1) UU KPKPU juga mengatur secara eksplisit pihak yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa kepailitan dan PKPU yaitu “Permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam bab pertama dan bab kedua, diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan peradilan umum”. Hal ini kemudian dipertegas melalui penjelasan pasal tersebut yang menyatakan “Dengan ketentuan ini semua permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah berlakunya Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini hanya diajukan kepada Pengadilan Niaga”.

Baca juga: Akibat Hukum Objek Jaminan Fidusia Yang Tidak Terdaftar Terhadap Kedudukan Kreditor

Dengan adanya ketentuan tersebut, Pengadilan Niaga mempunyai kewenangan absolut dalam kedudukannya sebagai Extra Ordinary Court untuk mengadili dan menyelesaikan permohonan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang (Dinovan, 2019:90). Meskipun demikian, dalam menyelesaikan sengketa juga dikenal adanya penyelesaian dengan jalur non litigasi atau jalur diluar Pengadilan. Jalur diluar pengadilan ini yang umumnya diminati oleh pelaku dunia usaha yakni melalui arbitrase. Berkaitan dengan jalur penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak ini umumnya dicantumkan dalam perjanjian yang mengikat para pihak (Zuleha, 2010:6).

Adanya klausula arbitrase dalam perjanjian baik yang dibuat dengan cara pactum decompromittendo (sebelum timbulnya sengketa) atau acta compromise (setelah timbulnya sengketa) memberikan konsekuensi suatu kewenangan mutlak dalam penyelesaian sengketa (Dinovan, 2019:92). Hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) yang menyatakan bahwa “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”. Terhadap ketentuan tersebut kemudian ditegaskan kembali melalui Pasal 11 yang mengatur bahwa “Dengan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri”.

Adanya klausula arbitrase dalam suatu perjanjian atau kontrak ini akan menimbulkan konflik, apabila kemudian terjadi sengketa kepailitan antara para pihak, yang mana dalam hal ini untuk permohonan perkara kepailitan menjadi kewenangan Pengadilan Niaga. Apabila dilihat dari dasar hukum yang ada, maka terdapat 2 undang-undang yang berkaitan dengan permasalahan ini yakni apakah para pihak akan tunduk pada ketentuan UU Arbitrase dengan adanya klausula arbitrase atau tunduk pada UU KPKPU yang mengatur kewenangan mutlak dari Pengadilan Niaga dalam menyelesaikan sengketa kepailitan.

Kedua undang-undang tersebut sama-sama memiliki kewenangan yang bersifat mutlak dan absolut untuk menyelesaikan sengketa kepailitan yang mengandung klausula arbitrase, disatu sisi Pengadilan Niaga berwenang karena sengketa kepailitannya, sedangkan disisi lain arbiter berwenang karena adanya klausul arbitrase (Zuleha, 2010:20-21). Klausul arbitrase mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak berdasarkan asas Pacta Sunt Servanda dan asas Freedom of Contract. Bangkrut atau pailitnya salah satu pihak tidak dapat menjadikan batalnya klausul arbitrase, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 10 UU Arbitrase yang menyatakan perjanjian arbitrase tidak menjadi batal oleh keadaan antara lain bangkrutnya salah satu pihak atau insolvensi salah satu pihak. Sehingga undang-undang Kepailitan tidak dapat membatalkan klausula arbitrase yang merupakan undang-undang bagi para pihak (Hutajulu, 2019:185).

Berdasarkan hal tersebut, adanya klausula arbitrase dapat digunakan oleh para pihak untuk menghentikan proses kepailitan debitor. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Marihot Janpieter Hutajalu dalam tulisannya yang berjudul “Kajian Yuridis Klausula Arbitrase Dalam Perkara Kepailitan”. Meskipun demikian dalam Pasal 303 UU KPKPU secara eksplisit disebutkan bahwa “Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang ini.”

Adanya ketentuan pengesampingan klausula arbitrase dalam perkara kepailitan tersebut bertentangan dengan prinsip Commersial Exit from Financial Distress yang memiliki makna bahwa kepailitan seharusnya menjadi solusi terhadap masalah penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami kebangkrutan, dan bukan sebaliknya yakni dijadikan pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha.

Baca juga: Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Gugatan Sederhana

Hukum kepailitan sudah seharusnya menjadi instrumen hukum terakhir yang dipergunakan oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa utang piutang dalam suatu perseroan dan lembaga arbitrase diberi kesempatan terlebih dahulu untuk menyelesaikan sengketa para pihak dan memastikan apakah debitor memiliki itikad baik atau tidak untuk membayar utangnya kepada kreditor (Hutajulu, 2019:186-187). Berdasarkan hal tersebut di atas meskipun demikian adanya pengaturan dalam Pasal 303 UU KPKPU telah mengesampingkan klausula arbitrase dalam perkara kepailitan sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU.

Tag: Berita , Artikel , Kurator dan Pengurus