(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Ihda Aulia Rahmah, S.H.

Arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau non litigasi. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase dan APS) disebutkan bahwa “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Meskipun demikian tidak semua perkara perdata dapat diselesaikan melalui Arbitrase, hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa yang bisa diselesaikan melalui Arbitrase.

Umumnya, penyelesaian sengketa melalui Arbitrase terjadi antara para pelaku usaha atau bisnis. Para pelaku usaha atau bisnis yang menginginkan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase terikat pada perjanjian yang mencantumkan Klausul Arbitrase. Adanya klausul arbitrase ini kemudian memberikan wewenang absolut kepada arbitrase untuk menyelesaikan sengketa apapun yang muncul dari perjanjian tersebut. Namun, meskipun perjanjian arbitrase ini dibuat atas dasar kesepakatan para pihak, tidak menutup kemungkinan adanya salah satu pihak yang terlibat dalam perjanjian arbitrase menolak atau tidak bersedia hadir dalam proses persidangan (Wiko, 2019:127-128).

Baca juga:  Apakah Adanya Klausula Arbitrase Dapat Menghentikan Proses Pengajuan Permohonan Kepailitan?

Dalam praktiknya banyak ditemukan pihak termohon dalam arbitrase menolak atau tidak hadir dalam proses persidangan Arbitrase. Hal ini cukup sering terjadi, dan setidaknya disebabkan oleh beberapa alasan sebagai berikut (Wiko, 128-129):

  1. Pihak termohon tidak familiar dengan proses arbitrase. Situasi ini sering terjadi dimana pihak-pihak dari suatu kontrak yang telah mencantumkan pilihan arbitrase dalam kontraknya tidak memiliki pemahaman mendasar tentang apa itu arbitrase dan legal force of man arbitration award. Hasilnya, timbul keengganan pihak termohon untuk melibatkan diri dalam proses persidangan.
  2. Adanya permasalahan finansial. Hal ini dapat terjadi karena umumnya proses penyelesaian sengketa arbitrase memerlukan biaya pendahuluan yang tidak sedikit. Tidak seperti penyelesaian sengketa di Pengadilan, proses persidangan di arbitrase membutuhkan dukungan finansial misalnya dalam hal membayar arbitration fee yang harus dibayar di awal dan kebutuhan lawyer. Namun, pada dasarnya permasalahan ini dapat diatasi karena pada praktiknya biaya arbitrase seringkali dibayar dulu oleh pemohon dan akan disesuaikan kembali ketika penerbitan putusan.
  3. Hal-hal lain misalnya keraguan dari sisi responden dalam memenangkan arbitrase atau bahkan termohon merasa klaim yang diajukan oleh pemohon terlalu mengada-ada dan dibuat-buat sehingga termohon merasa enggan untuk merespon. Selain itu, misalnya terdapat skenario seperti pemohon mengajukan permohonan arbitrase melawan termohon dalam perkara jual beli misalnya. Pada awalnya termohon merespon dan bekerjasama dalam proses persidangan dan sudah menunjuk pengacara. Pada waktu yang telah ditentukan dimana termohon harus memberikan jawaban dan bukti-bukti klaim, tidak ada dokumen yang dikirimkan. Pada saat diklarifikasi melalui pengacara diketahui bahwa termohon secara sengaja not providing any document to be lawyers karena jika hal ini dilakukan maka dokumen-dokumen yang berkaitan dengan rahasia dagang termohon harus terungkap. Ada kecurigaan bahwa pemohon secara sengaja mengajukan permohonan arbitrase untuk mendapatkan rahasia dagang milik termohon.

Ketidakhadiran termohon dengan alasan-alasan tersebut diatas dalam proses persidangan arbitrase telah diatur dalam Pasal 44 UU Arbitrase dan APS yang menyatakan bahwa:

(1) Apabila pada hari yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), termohon tanpa suatu alasan yang sah tidak datang menghadap, sedangkan telah dipanggil secara patut, Arbiter atau Majelis Arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi.

(2) Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dapat diketahui bahwa UU Arbitrase dan APS memberikan wewenang kepada Arbiter/Majelis Arbitrase untuk melanjutkan proses persidangan arbitrase tanpa hadirnya termohon. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti bahwa Arbiter atau Majelis Arbitrase akan langsung mengabulkan seluruh klaim pemohon. Karena dalam ketentuan yang tercantum dalam Pasal 44 ayat (2) disebutkan jika Arbiter/Majelis Arbitrase akan dikabulkan seluruhnya kecuali jika tuntutan tersebut tidak beralasan dan tidak berdasarkan hukum. Dalam hal ini Arbiter/Majelis Arbitrase dalam mengabulkan tuntutan pemohon harus terlebih dahulu memastikan bahwa tuntutan pemohon tidak memiliki kriteria “tidak beralasan” dan “tidak berdasarkan hukum” (Wiko, 2019:140).

Dalam Hukum Acara Perdata, yang termasuk sebagai “gugatan tidak beralasan” adalah yang tidak diajukan peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan. Adapun “gugatan yang tidak berdasarkan hukum” adalah tidak dapat ditunjukkan hubungan hukum antara penggugat dengan materi atau objek yang disengketakan dan antara penggugat dengan tergugat berkaitan dengan materi atau objek sengketa. Hal ini berarti bahwa Arbiter/Majelis Arbitrase harus memeriksa pokok perkara pada permohonan dan tidak hanya terpaku pada hal-hal yang bersifat materiil (Wiko, 2019:140).

Baca juga: Proses Beracara di Badan Arbitrase Nasional Indonesia

Putusan arbitrase yang menjadi hasil akhir dari persidangan tanpa hadirnya termohon tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun, kecuali permohonan pembatalan putusan. Sehingga diperlukan kehati-hatian Arbiter agar putusan yang diambil sesuai dengan fakta dan tidak berlawanan hukum. Berkaitan dengan istilah yang digunakan untuk menyebut putusan arbitrase tanpa hadirnya termohon sendiri masih menjadi perdebatan. Marianna Sutadi dalam tulisannya yang berujudul “Putusan Arbitrase Tanpa Termohon Pernah Hadir” menyebut putusan arbitrase yang diambil tanpa hadirnya termohon sebagai putusan contradictoir (Sutadi, 2021: 96), sedangkan menurut pendapat Joni Emirzon sebagai salah satu Arbiter di BANI putusan arbitrase tersebut merupakan putusan verstek (in absentia) (Emirzon, 2018:7).

Tag: Berita , Artikel , Advokat