Author: Putri Ayu Trisnawati, S.H.
Developer perumahan berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan, adalah “perusahaan pembangunan perumahan yang berusaha dalam bidang pembangunan perumahan dari berbagai jenis dalam jumlah yang besar di atas suatu area tanah yang akan merupakan suatu kesatuan lingkungan pemukiman yang dilengkapi dengan prasarana-prasarana lingkungan dan fasilitas-fasilitas sosial yang diperlukan oleh masyarakat penghuninya.”
Dalam menjalankan bisnis properti, sering kali developer menggunakan strategi marketing berupa Pre Project Selling. Pre project selling merupakan penjualan sebelum proyek dibangun di mana properti yang dijual tersebut baru berupa gambar atau konsep. Berbagai pilihan tipe rumah, lokasi perumahan, keamanan, harga yang terjangkau dan fasilitas ditawarkan dalam pemasaran guna mempromosikan perumahan yang akan dibangun, tujuannya tidak lain adalah agar dapat meningkatkan jumlah pembelian. Pre project selling juga merupakan strategi pemasaran yang dilakukan oleh developer, dengan tujuan utama untuk mendapatkan dana sebagai modal pembangunan.
Baca juga: Personal Guarantee Dalam Perjanjian Kredit
Ketika perumahan tersebut masih dalam tahap pembangunan, pemasaran perumahan dapat dilakukan melalui sistem Perjanjian Pendahuluan Jual-Beli yang harus tercantum adanya kepastian atas beberapa hal, salah satunya yaitu ketersediaan prasarana, sarana, utilitas umum dan deadline penyelesaian untuk serah terima bangunan. Hal ini penting, sebab apabila pemasaran oleh developer menggunakan sistem Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) hanya dapat dilakukan setelah memenuhi persyaratan, sebagaimana tercantum di dalam Pasal 22I Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman yang mengatur: “Suatu perjanjian perikatan jual beli mengandung janji-janji yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh salah satu pihak atau para pihak sebelum dapat dilakukannya perjanjian pokok yang merupakan tujuan akhir para pihak” (Herlien Budiono, 2016).
PPJB merupakan perjanjian yang timbul akibat adanya jual beli rumah (perumahan) yang masih dalam tahap perencanaan pembangunan, sehingga timbul Perjanjian Jual Beli Pendahuluan (preliminary purchase). Kemudian, tindakan jual beli pendahuluan tersebut dituangkan dalam Akta Perikatan Jual Beli. Pengikatan ini kemudian lebih dikenal dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Perjanjian tersebut biasanya lebih menguntungkan salah satu pihak yaitu pelaku usaha. Menurut Abdul Hakim Barkatullah, dalam perjanjian baku hampir semua pihak lawan tidak diberikan kesempatan untuk mengadakan real bargaining dengan developer (Abdul Hakim Barkatullah, 2010:53). Dalam praktiknya, selalu terjadi permasalahan adanya ketidaksesuaian antara apa yang tercantum dalam brosur atau iklan berupa informasi produk, dengan apa yang termuat dalam perjanjian jual beli yang ditandatangani konsumen.
Hal tersebut jelas saja melanggar ketentuan Pasal 134 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU Perumahan) sebagaimana telah diubah dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang berbunyi: “Setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan yang tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasana, sarana, utilitas umum yang diperjanjikan dan standar.”
Developer yang melanggar ketentuan dalam Pasal 134 UU Perumahan sebagaimana telah diubah dengan Pasal 50 UU Cipta Kerja, akan dikenakan sanksi yang termuat dalam Pasal 50 angka 15 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 150 ayat (1) dan (2) UU Perumahan yang menjelaskan bahwa apabila pihak developer sudah menjanjikan namun tidak dibangun atau kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum tidak sesuai, maka dapat dikenai sanksi administratif yang dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan pembangunan; c. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan; d. penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan perumahan; e. penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel); f. kewajiban membongkar sendiri bangunan dalam jangka waktu tertentu; g. membangun kembali perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, utilitas umum yang diperjanjikan, dan standar; h. pembatasan kegiatan usaha; i. pembekuan persetujuan bangunan gedung; j. pencabutan persetujuan bangunan gedung; k. pembekuan/pencabutan surat bukti kepemilikan rumah; l. perintah pembongkaran bangunan rumah; m. pembekuan perizinan berusaha; n. pencabutan perizinan berusaha; o. pengawasan; p. pembatalan perizinan berusaha; q. kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka waktu tertentu; r. pencabutan insentif; s. pengenaan denda administratif; dan/atau t. penutupan lokasi.
Selain sanksi administratif, pihak developer juga dapat dijerat pidana jika hal tersebut mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan berdasarkan Pasal 50 angka 16 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 151 UU Perubahan menyatakan sebagai berikut: “Setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan perumahan yang membangun perumahan tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 5 miliar.”
Baca juga: Peralihan Hak Atas Tanah Berdasarkan Surat Keterangan Waris
Berdasarkan uaraian diatas, apabila terjadi suatu kelalaian yaitu melanggar Pasal 134 UU Perumahan sebagaimana telah diubah dengan Pasal 50 UU Cipta Keja yang dilakukan oleh pihak developer, sebagai konsumen dapat melakukan upaya hukum terhadap isi dari PPJB yang telah disepakatai yaitu langkah pertama dapat menanyakan terkait permasalahan ataupun kendala yang ada kepada developer, apabila tidak mendapatkan jawaban ataupun kepastian dari pihak developer, upaya selanjutnya yang dapat dilakukan yaitu memberikan Surat Teguran (Somasi). Apabila tetap tidak ada tanggapan dari developer, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri.
