Author: Novita Indah Sari, S.H.
Keputusan fiktif positif pertama kali diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP), keputusan ini menggantikan keputusan fiktif negatif yang sebelumnya diatur dalam UU Peradilan TUN. Diistilahkan “fiktif” karena secara faktual pemerintah tidak mengeluarkan keputusan tertulis, akan tetapi dianggap telah mengeluarkan keputusan tertulis, sedangkan “positif” karena isi keputusan tersebut dianggap mengabulkan permohonan penetapan keputusan (Pratama, 2020: 1-2). Menurut Enrico Simanjuntak konsep fiktif positif merupakan fiksi hukum yang mensyaratkan otoritas administrasi untuk menanggapi atau mengeluarkan keputusan/tindakan yang diajukan kepadanya dalam limit waktu sebagaimana ditentukan, dan apabila persyaratan ini tidak terpenuhi maka otoritas administrasi dianggap mengabulkan permohonan penerbitan keputusan/tindakan yang dimohonkan kepadanya tersebut (Simanjuntak: 2018).
Secara sederhana dapat dipahami bahwa apabila seseorang atau badan hukum perdata mengajukan permohonan kepada badan/pejabat pemerintahan untuk menetapkan suatu keputusan, namun badan/pejabat pemerintahan tersebut tidak menetapkan keputusan yang dimohon hingga lewat batas waktu yang ditentukan, maka secara hukum badan/pejabat pemerintahan dianggap telah mengeluarkan keputusan yang mengabulkan permohonan tersebut. Keputusan yang dianggap mengabulkan permohonan inilah yang dinamakan keputusan fiktif positif.
Baca juga: Perselisihan Hasil Pilkades, Sengketa TUN atau Sengketa Pemilu?
Konsep keputusan fiktif positif dapat dijumpai dalam Pasal 53 UUAP yang pada pokoknya memuat ketentuan tentang kewajiban badan/pejabat pemerintahan dalam menetapkan keputusan/tindakan, batas waktu penetapan keputusan/tindakan, konsekuensi hukum apabila badan/pejabat pemerintahan tidak menetapkan keputusan/tindakan setelah batas waktu berakhir berupa permohonan dikabulkan secara hukum, serta mekanisme dan peran PTUN dalam menerima dan memutus permohonan keputusan yang dianggap dikabulkan secara hukum.
Salah satu kasus yang menerapkan pasal tersebut adalah kasus antara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sebagai pemohon melawan Gubernur Sumatera Barat sebagai termohon yang diputus melalui Putusan Nomor: 2/P/FP/2017/PTUN.PDG. Dalam duduk perkara permohonan tersebut, YLBHI mengajukan permohonan kepada Gubernur Sumatera Barat untuk menerbitkan keputusan pencabutan terhadap 26 IUP (Izin Usaha Pertambangan) Non Clean and Clear yang belum berakhir masa berlakunya. Namun, sampai batas waktu yang ditentukan Gubernur Sumatera Barat tersebut tidak segera menerbitkan keputusan pencabutan. Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan IUP Minerba, apabila terdapat IUP yang berstatus Non Clean and Clear, maka IUP tersebut harus dicabut atau berakhir. Oleh karenanya, YLBHI kemudian mengajukan permohonan ke PTUN Padang agar mendapat putusan penerimaan permohonan dan mewajibkan termohon (Gubernur Sumatera Barat) untuk menerbitkan keputusan pencabutan 26 IUP Non Clean and Clear.
Dalam pertimbangan hakim, YLBHI sebagai badan hukum perdata yang aktif dalam mewakili kepentingan masyarakat umum dalam proses penegakan hukum, memberikan masukan dan kritik tentang masalah hukum dan telah ikut mengawal proses evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM yang dinyatakan memiliki legal standing sebagai pemohon. Selain itu hakim juga menyatakan bahwa tindakan termohon menunjukkan adanya fakta hukum berupa pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 53 UUAP. Sehingga dalam amarnya Hakim memutuskan mengabulkan permohonan pemohon dan mewajibkan termohon untuk menerbitkan keputusan pencabutan terhadap 26 IUP Non Clean and Clear yang diajukan pemohon. Berdasarkan Pasal 53 ayat (6) UUAP badan/pejabat pemerintahan tersebut wajib menetapkan keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan tersebut paling lama lima hari kerja sejak putusan Pengadilan ditetapkan.
Setelah berlakunya UU Cipta Kerja yang kemudian dicabut dengan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, ketentuan Pasal 53 UUAP diubah, perubahan tersebut meliputi batas waktu penetapan yang semula maksimal 10 hari menjadi 5 hari, dan penghapusan peran PTUN dalam menangani perkara keputusan fiktif positif. Apabila merujuk pada Pasal 175 angka 7 Perppu Cipta Kerja tentang perubahan Pasal 53 UUAP, penetapan keputusan fiktif positif tidak lagi diserahkan kepada PTUN, namun akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. Hal ini mengindikasikan bahwa permohonan keputusan fiktif positif tidak lagi menjadi kompetensi absolut PTUN.
Baca juga: Akibat Hukum Penggandaan VCD Tanpa Izin Dari Pemegang Hak Cipta
Penghapusan peran PTUN dalam menangani perkara keputusan fiktif positif menurut penulis dapat dikatakan sebagai kemunduran hukum karena menghilangkan mekanisme kontrol lembaga yudikatif atas tindakan badan/pejabat pemerintahan yang mengabaikan suatu permohonan yang diajukan kepadanya. Fungsi kontrol lembaga yudikatif pada dasarnya penting, karena bertujuan untuk mewujudkan prinsip check and balances agar tidak terjadi kesewenang-wenangan penguasa terhadap masyarakat. Hal ini pun sejalan dengan pendapat Surya Mukti Pratama dalam jurnal Rechtsvinding yang menyatakan bahwa penghapusan keterlibatan PTUN dalam memutus permohonan keputusan fiktif positif, seakan-akan menjadikan fiktif positif ini menjadi jenis keputusan “setengah hidup”, karena eksistensinya diakui namun dibiarkan begitu saja tanpa bukti legalitas yang jelas, tentu hal ini akan menimbulkan ketidakpastian dalam eksekusinya sehingga akan merugikan masyarakat (Pratama, 2020: 3).
Download: