Author: Putri Ayu Trinsnawati, S.H.
Transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan tidak terlepas dari adanya perjanjian/perikatan, dimana terdapat persetujuan antara para pihak saling mengikatkan diri, dengan satu pihak melakukan penyerahan suatu kebendaan, dan pihak lainnya akan melakukan pembayaran sesuai yang telah diperjanjikan sebelumnya, sebagaimana ketentuan pada Pasal 1457 KUHPerdata. Dengan demikian, perjanjian tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya, dalam hal ini yaitu pihak penjual dan pihak pembeli (Fadhila Restyana Larasati dan Mochammad Bakri, 2018:2).
Dalam transaksi jual beli objek tanah dan/atau bangunan juga dikenal dengan adanya istilah uang panjar, berdasarkan ketentuan Pasal 1454 KUHPerdata dijelaskan bahwa dengan adanya suatu panjar, maka jual beli tidak dapat dibatalkan, sehingga tidak diakomodasi jika di kemudian hari dalam proses tersebut ada sengketa (Supriyadi, 2016:260). Selain itu, dalam transaksi jual beli objek tanah dan/atau bangunan para pihak juga membuat suatu perjanjian yang bersifat mengikat antara pembeli dan penjual, dalam hal ini dikenal dengan nama Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB).
Baca juga: Akibat Hukum Terhadap Developer Perumahan Yang Tidak Menyelesaikan Kewajiban Pembangunan Proyeknya
Pengertian PPJB yaitu perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas, sehingga PPJB ini dapat dikategorikan ke dalam perjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian utama/pokok (Dewi Kurnia Putri, Amin Purnawan, 2017:632). PPJB juga dibedakan menjadi dua jenis, yaitu PPJB belum lunas dan PPJB lunas. PPJB belum lunas yaitu perjanjian pengikatan jual beli dimana belum ada pelunasan dalam pembayaran harga yang sudah disepakati dan berisikan janji-janji untuk proses pelunasan. Sementara PPJB lunas yaitu perjanjian pengikatan jual beli dimana harga yang sudah disepakati dibayarkan secara lunas, namun belum bisa dilaksanakan pembuatan akta jual belinya.
PPJB juga merupakan jenis perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian di mana pihak-pihak sepakat untuk mengikatkan diri melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain, sehingga dengan dibuatnya PPJB pada dasarnya belum mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual ke pembeli. Tahapan ini baru merupakan kesepakatan dan harus diikuti dengan perjanjian penyerahan (levering), yaitu dengan ditandatanganinya Akta Jual Beli (AJB) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Suatu PPJB juga mempunyai syarat sah yang tercantum juga pada Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: 1. sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal.
Dalam transaksi jual beli antara pembeli dengan developer, PPJB pada umumnya dilakukan dengan cara pembeli melakukan pembayaran secara bertahap sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Sebaliknya, developer mengikatkan dirinya kepada pembeli untuk menyelesaikan pembangunan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, merupakan suatu kewajiban bagi pembeli untuk membayar pada jadwal yang telah ditentukan, juga dapat ditetapkan suatu syarat yang bersifat timbal balik (Jurnal Arina Ratna Paramita, Yunanto, Dewi Hendrawati, 2016:2).
Baca juga: Personal Guarantee Dalam Perjanjian Kredit
Tahapan selanjutnya setelah dibuatnya PPJB, proses jual beli objek tanah dan/atau bangunan dilanjutkan di hadapan Notaris/PPAT. Tahapan yang dilakukan yaitu pembayaran pajak penjual dan pajak pembeli, cek fisik asli sertifikat tanah, penandatanganan AJB, validasi, dan akan dilanjutkan untuk proses balik nama. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam transaksi jual beli suatu objek tanah dan/atau bangunan harus diperhatikan tahapan-tahapan dalam proses jual beli, sebab seringkali timbul suatu sengketa antara pihak penjual dengan pihak pembeli karena salah satu pihak tidak melaksanakan kesepakatan yang telah disepakati bersama dalam PPJB.
