(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Nur Laila Agustin, S.H.

Di Indonesia kerap terjadi kasus penggunaan hasil karya seseorang tanpa adanya izin dari pencipta. Dari penggunaan secara ilegal dapat berakibat gugatan ganti rugi hingga sampai ancaman penjara. Seperti contoh kasus yang sempat ramai hingga menjadi perbincangan di media sosial twitter yakni kasus penggunaan Font dalam produk susu kemasan tanpa izin pencipta, sebenarnya bukan kesalahan perusahaan susu tersebut akan tetapi kesalahan terjadi pada agensi, namun tetap saja hal ini sudah termasuk dalam pelanggaran hak cipta.

Arwan adalah orang yang menciptakan Font tersebut, Font tersebut diberi nama “Om Telolet Om” yang dirilis pada tahun 2016 yang dijual di website locomotype. Locomotype ini merupakan studio pembuatan Font tulisan yang ia dirikan kemudian dirilis dengan lisensi “free for personal use dan commercial-use” akan tetapi beberapa bulan kemudian ia mengganti lisensi Font nya menjadi free personal saja (Prasetyo, 2021). Pencipta tidak pernah menjual Font nya di marketplace manapun sehingga untuk perusahaan yang akan menggunakan Font tersebut harus ada lisensi dari pencipta, pencipta pun mulai mencari informasi terhadap perusahaan yang bertanggungjawab atas pemasaran produk tersebut dan akhirnya PT. Greenfield Indonesia sendiri menjelaskan bahwa Font tersebut didapati atau dibeli dari agensi yang berada di Singapura.

Baca juga: Bagaimana Aturan Hukum Penyiaran Film melalui Layanan Streaming Secara Gratis?

Dalam kasus diatas, pencipta merupakan pemilik hak cipta atas karya Font yang telah ia ciptakan secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta “Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan  diwujudkan dalam bentuknya tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Jika mengacu kepada Pasal 40 huruf s Undang-Undang Hak Cipta, Font sendiri termasuk dalam hak cipta yang dilindungi, karena Font dikategorikan sebagai program komputer yang digunakan dalam tulisan elektronik. Pengguna Font yang didapatkan atau diunduh dari jejaring internet disesuaikan dengan “term of use” yang  telah ditentukan oleh penciptanya. Term of use berlaku seperti perjanjian lisesnsi antara pengunduh dengan pencipta (Smartlegal.id, 2021).

Font tersebut meskipun sudah atau belum dicatatkan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Direktorat Jenderal HKI) tidak akan mempengaruhi untuk mendapatkan hak cipta sesuai dengan  Pasal 64 Ayat (2). Dalam praktiknya jika terjadi pelanggaran hak cipta, pelaku dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 113 Ayat 3 dan 4 UU Hak Cipta. Ayat (3): “Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ayat (4): Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).” Berdasarkan pasal tersebut sanksi pidana merupakan perwujudan bagi perlindungan atas hak cipta yang dilanggar oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.

Selain itu, Berdasarkan Pasal 80 UU Hak Cipta pemberi lisensi merupakan hak yang dimiliki pencipta dan pemegang hak cipta. Dalam Pasal 1 angka 20 Lisensi ialah izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik hak terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya atau produk hak terkait dengan syarat tertentu. Jadi, untuk pihak yang hendak melaksanakan hak ekonomi dari suatu ciptaan seseorang wajib mendapatkan lisensi dari pencipta atau pemegang hak cipta. Hal ini merupakan hak ekonomi untuk penggunaan secara komersial ciptaan. Lisensi sendiri dalam penggunaan Font dibagi menjadi dua yaitu lisensi commercial-use dan lisensi free for personal use. Lisensi commercial use dapat digunakan dengan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta guna kepentingan komersial. Sedangkan Lisensi free for personal use hanya dapat digunakan untuk kebutuhan personal dari pengguna.

Baca juga: Penerapan Doktrin Dilution Of Distinctiveness Dalam Putusan Sengketa Merek Gudang Garam

Dalam kasus diatas pencipta tidak mendaftarkan atau mencatatkan ciptaannya, akan tetapi pencipta sudah melakukan perilisan Font tersebut sejak tahun 2016 di website miliknya sendiri. Setelah diketahui bahwa agensi yang berlokasi di Singapura yang melakukan pelanggaran hak cipta, pencipta tidak berniat untuk menggungat agensi tersebut, akan tetapi melakukan penyelesaian masalah ini secara damai atau mediasi dengan hasil agensi yang berlokasi di Singapura akan membayar kompensasi atas penggunaan Font tersebut yang disampaikan dengan syarat dalam perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Tag: Berita , Artikel , Konsultan Kekayaan Intelektual