Author: Putri Ayu Trisnawati, S.H.
Eksekusi penarikan barang jaminan kendaraan dengan kredit bermasalah tidak bisa sembarangan. Baik konsumen maupun perusahaan pembiayaan telah dilindungi lewat aturan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam usaha pembiayaan, debitur yang memiliki kewajiban untuk membayar tanggungan cicilan dan perusahaan pembiayaan sebagai kreditur memiliki proses mekanisme apabila terjadi kredit macet, sebelum akhirnya melakukan eksekusi (penarikan) kendaraan.
Dalam UU Jaminan Fidusia, saat melakukan eksekusi penarikan unit, perusahaan leasing harus melengkapi diri dengan sertifikat jaminan fidusia. Dalam prosesnya pihak perusahaan pembiayaan atau leasing dapat bekerja sama dengan pihak ketiga (debt collector atau tenaga jasa penagihan) yang sudah tersertifikasi sebagai pihak yang berwenang untuk mengeksekusi yang dikeluarkan oleh Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI). Apabila tidak bersetifikasi ini akan menjadi masalah dan dilaporkan ke APPI dan selanjutnya bisa diproses secara hukum.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penarikan barang leasing kepada kreditur tak boleh dilakukan sepihak melainkan harus melalui pengadilan. Selama ini banyak kasus penarikan langsung barang leasing melalui pihak ketiga seperti debt collector atau penagih utang. Cara penarikannya pun kerap dilakukan sewenang-wenang kepada kreditur di mana pun, kapan pun, seperti banyak kasus selama ini.
Baca juga: Aturan Terbaru Perpanjangan Hak Guna Bangunan
Berdasarkan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020 “Penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri”. MK memutuskan perusahaan kreditur (leasing) tidak bisa menarik atau mengeksekusi objek jaminan fidusia seperti kendaraan atau rumah secara sepihak. MK menyatakan, perusahaan kreditur harus meminta permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri terlebih dahulu.
Putusan MK atas uji material Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU No. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 akan melindungi debitur yang memiliki itikad baik. Lantaran putusan mewajibkan eksekusi objek jaminan fidusia yang tidak diserahkan secara sukarela oleh debitur harus mengikuti prosedur putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Bagi debitur yang memiliki itikad baik jaminan fidusia tidak ditarik secara paksa. keputusan MK ini lantaran adanya penarikan jaminan fidusia bagi konsumen yang memiliki itikad baik. Walaupun terdapat debitur yang tidak memiliki itikad baik sehingga diperlukan pendekatan yang berbeda. Untuk menyikapi hal tersebut, terdapat dua maksud putusan MK tersebut, yakni penarikan boleh dilakukan jika kedua pihak sepakat apabila ada cacat janji (wanprestasi), apabila tidak ada cacat janji, maka untuk eksekusi penarikan harus melalui penetapan pengadilan.
Kendati demikian, perusahaan leasing tetap boleh melakukan eksekusi tanpa lewat pengadilan dengan syarat pihak debitur mengakui adanya wanpretasi dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi obyek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi).
Syarat untuk melakukan eksekusi adalah telah didaftarkan fidusianya, sudah dibayarkan PNPB-nya, kemudian sudah keluar sertifikat fidusianya. Jadi selama belum didaftarkan, dan sertifikat fidusianya (tidak ada) maka tidak bisa mengeksekusi sendiri, hal ini termasuk hak konsumen jika tidak ada sertifikat maka tidak bisa dilakukan eksekusi.
Baca juga: Tinjauan Yuridis Permasalahan Penolakan Permohonan Perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan
Dalam putusan bernomor 18/PUU-XVII/2019, MK menyatakan selama ini tak ada tata cara pelaksanaan eksekusi atau penarikan barang leasing jika kreditur melewati tenggat pembayaran. Akibatnya muncul paksaan atau kekerasan dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pembayaran tersebut atau kerap disebut debt collector.
Sementara, jika merujuk ketentuan eksekusi yang diatur Pasal 196 HIR atau Pasal 208 Rbg menyebutkan, eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditur atau dalam istilah hukum disebut sebagai penerima fidusia atau penerima hak, melainkan harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri. Ketentuan ini diputuskan demi memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan antara pihak leasing dengan kreditur serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi.