Author: Antonius Gunawan Dharmadji, SH
Hak atas keamanan pribadi merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh saksi dan korban yang telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Jika dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM), hak atas keamanan pribadi merupakan salah satu kategori dalam hak atas rasa aman. Perlindungan hak atas keamanan pribadi yang dibutuhkan oleh saksi dan korban dalam proses peradilan pidana adalah rasa aman yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 UU HAM pada saat memberikan kesaksiannya selama proses peradilan.
Perlidungan keamanan pribadi saksi dan korban saat memberikan kesaksiannya sangat berkaitan erat dengan kebebasan untuk memberikan keterangan di dalam proses peradilan. Makna dari hak secara bebas memberikan keterangan adalah baik tersangka, terdakwa, atau saksi, dalam memberikan keterangan, kepada aparat penegak hukum maupun kepada penasihat hukum, tidak terdapat hambatan.
Hambatan yang dimaksudkan secara garis besar berasal dari 2 (dua) sumber. Pertama, yang bersumber dari dalam diri tersangka, terdakwa, atau saksi. Mulai dari persoalan hambatan kesehatan jasmani (sakit) atau hambatan kesehatan rohani (sakit jiwa atau gila), ketakutan, kekhawatiran, usia, sampai dengan persoalan pengetahuan yang dimiliki. Kedua, yang berasal dari luar diri tersangka, terdakwa, atau saksi. Mulai dari pengaruh media massa, paksaan, tekanan dari aparat penegak hukum, pembatasan untuk mendapat bukti (alat bukti dan barang bukti) dan mengetahui atau memahami kenapa ia diajukan ke persidangan sampai dengan pelaksanaan penyumpahan.
Hal menarik yang dapat dibahas dalam artikel ini adalah, apakah benar bahwa penyumpahan menimbulkan ketidakbebasan tersangka, terdakwa, atau saksi dalam meberikan keterangan? Penyumpahan terhadap tersangka atau terdakwa dalam memberikan keterangan merupakan sesuatu yang dilarang, dikarenakan hal tersebut akan mengurangi atau menghilangkan hak yang dimiliki oleh tersangka atau terdakwa untuk memenangkan perkaranya dengan segala cara.
Hukum memberikan kesempatan kepada tersangka untuk berbohong dalam memberikan keterangan, bahkan hukum tidak melarang tersangka untuk tetap diam dan tidak memberikan keterangan apapun. Karena prinsip yang dijamin oleh hukum adalah tersangka atau terdakwa mempunyai hak untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri dan memiliki hak untuk melakukan pembelaan.
Bagaimana posisi hukum terhadap sumpah dari seorang saksi? Berbeda dengan tersangka dan terdakwa, pada seorang saksi diharuskan untuk memberikan keterangan yang sebenarnya tentang apa yang dia lihat, dengar dan atau alami sendiri tentang suatu peristiwa hukum. Untuk hal tersebut karena manusia pada umumnya akan bertindak untuk menguntungkan dirinya sendiri (subjektif) sehingga harus terdapat sarana pemaksa untuk menjamin bahwa dia tidak akan bertindak secara subjektif, dan akhrinya memberikan keterangan secara objektif dan jujur. Sarana pemaksa tersebut adalah sumpah.
Selanjutnya untuk memaksimalkan hal tersebut maka hukum memberikan sanksi terhadap saksi yang telah disumpah apabila memberikan keterangan palsu. Pengaturan akan hal tersebut di Indonesia telah diatur dialam Pasal 242 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Peradilan Pidana (selanjutnya disebut KUHAP).
Persoalan lain yang timbul adalah kapan seorang saksi akan memberikan keterangan di atas sumpah? Pasal 160 ayat (3) KUHAP, telah mengatur bahwa sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari apa yang sebenarnya. Terlihat bahwa ketentuan tersebut diatur di dalam Bab XVI tentang Pemeriksaan di Sidang Pengadilan maka ketentuan pasal tersebut harus diartikan hanya di dalam acara pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP
- Jika saksi sesudah memberikan keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan.
- Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang di ucapkan di sidang.
Dari pasal tersebut diartikan pemeriksaan saksi di dalam tahap penyidikan tidak perlu didahului dengan sumpah. Namun hal tersebut dapat dikesampingkan apabila terdapat alasan-alasan yang sifatnya limitatif dan dibenarkan oleh undang-undang. Alasan-alasan yang dimaksud di dalam Pasal 162 ayat (1) KUHAP, diantarannya: pertama, penyidik memiliki kekhawatiran yang didukung dengan bukti yang kuat, bahwa setelah saksi memberikan keterangan, dia akan meninggal dunia. Kedua, karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang. Ketiga, tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman. Keempat atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara. Selain alasan-alasan tesebut tindakan aparat penyidik untuk meminta keterangan dari saksi dengan cara disumpah terlebih dahulu merupakan tindakan melaksanakan kewenangan secara melawan hukum.
Oleh sebab itu apabila seorang saksi diperiksa oleh penyidik untuk dimintai keterangannya di bawah sumpah dan tidak sesuai dengan syarat yang diatur dalam Pasal 162 ayat (1) KUHAP maka nilai keterangan saksi dalam BAP tersebut adalah batal demi hukum.