Author: Stefanus Kurniawan Dharmadji, S.H.
Pada Konstitusi yang berlaku di Indonesia terdapat suatu pengaturan terhadap harkat dan martabat anak-anak Indonesia, hal itu dituangkan dalam pasal 28b ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa anak berhak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hal tersebut bermaksud untuk menjelaskan bahwa untuk menjaga harkat dan martabat anak, maka anak-anak perlu mendapatkan suatu perlindungan yang khusus dari berbagai ancaman yang dapat menciderai harkat dan martabat anak.
Salah satu penunjang peraturan perundang-undangan Indonesia dalam perlindungan hukum terhadap anak dituangkan dalam; Konvensi Tentang Hak-Hak Anak sebagaimana telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Keppres No. 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak). Dan sebagai perwujudan komitmen untuk melaksanakan perlindungan hak – hak anak yang diatur dalam Konvensi Hak Anak, maka dibentuklah juga UU. No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pemerintah telah mengatur Sistem Peradilan Pidana Anak dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
Di dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, batas umur “anak yang berkonflik dengan hukum” adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin yang diduga melakukan tindak pidana. Anak yang dapat dikenakan sanksi pidana dalam Psl. 69 ayat (1) UU SPPA harus berumur minimal 14 tahun.
Apabila di lihat, dalam menganai perkara anak yang berhadapan dengan hukum di Pengadilan, UU Pengadilan Anak hanya menerapkan aturan pemeriksaan secara formal yakni sesuai KUHAP dan juga ketentuan beracara khusus yang di atur dalam UU Pengadilan Anak. Sementara di dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak sebelum melewati proses persidangan hakim wajib mengupayakan penyelesaian perkara anak secara diversi atau disebut juga penyelesaian perkara anak diluar pengadilan (informal). Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Adapun sebab dilaksanakannya diversi dalam penanganan perkara anak adalah karena posisi anak dalam melakukan tindak pidana tidak sama dengan orang dewasa yang sudah mempunyai akal dan pengalaman, dimana anak berada pada taraf yang belum mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya. Oleh sebab itulah, maka penggunaaan hukum pidana dalam penyelesaian masalah anak, agar dapat dibatasi atau dapat digunakan sebagai upaya terakhir. Hal ini melihat dampak dari proses pidana tersebut terhadap anak, sehingga sangat diperlukan adanya penerapan upaya yaitu “restorative justice” yang merupakan bagian dari konsep diversi. Adapun yang menjadi tujuan pelaksanaan diversi adalah :
- Untuk menghindarkan anak dari penahanan
- Untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat
- Untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang telah dilakukan oleh anak
- Agar anak bertanggungjawab atas perbuatannya
- Untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal
- Menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan
- Menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
Keadilan restroratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan mengutamakan pembalasan.
Namun di lain sisi, terdapat kekurangan pemeriksaan perkara anak secara diversi melalui restorative justice adalah :
- Tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana berat
Maksudnya adalah terhadap kejahatan yang dilakukan pelaku merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana berat, maka hal ini juga merupakan penyebab sulitnya diversi terlaksana. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf a UU SPPA : “Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukana diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun”.
- Susah mendapatkan persetujuan korban/keluarga korban
- Kemampuan mediator sangat mempengaruhi keberhasilan proses restorative justice
- Keberhasilan dari proses restorative justice sangat tergantung dari pihak keluarga anak yang menjadi tempat anak dikembalikan.
Hal ini disebabkan anak pelaku merupakan tanggungjawab dari orang tuanya, jadi pengawasan dari orang tua dan keluarga untuk mengubah perilaku anak dari perilaku melanggar (offence behavior) dapat dijadikan faktor penentu
- Seringnya terjadi re-offending atau pelanggaran kembali oleh pelaku yang telah menjalani restorative justice
- Kurangnya pemahaman masyarakat tentang proses restorative justice
Kelebihan pemeriksaan perkara anak secara diversi melalui restorative justice adalah :
- Waktu yang relatif lebih singkat
- Menghindarkan anak mengikuti proses peradilan dan penahanan
- Mengurangi beban kerja polisi, jaksa, rutan, pengadilan dan lapas
- Menghemat keungan Negara
- Berkurangnya jumlah anak-anak yang divonis penjara
- Menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan
- Menghapuskan stigma/cap sebagai penjahat dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak
- Tidak menimbulkan dendam karena pelaku telah dima’afkankorban
- Korban dapat cepat mendapat ganti kerugian
- Diversi dapat mendorong anak untuk bertanggungjawab atas perbuatannya .
- Memberdayakan Orang tua, korban dan masyarakat ikut serta dalam proses penyelesaian tindak pidana untuk mengatasi kenakalan anak.
UU SPPA yang telah berlaku setelah dua tahun sejak diundangkan yaitu pada tahun 2014 diharapkan dapat memberikan solusi dalam proses peradilan yang sedang dialami oleh anak yang sedang berhadapan dengan hokum dengan cara diversi melalui restorative justice.
Dasar hukum :
- UUD 1945
- UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
- No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
- UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
- Keppres No. 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak).
