Author: Angeline Thalita, S.H., M.Kn.
Tindak pidana di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur ketentuan hukum pidana umum. KUHP merupakan peraturan perundang-undangan peninggalan zaman penjajahan Belanda yang belum mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana (normadressat). Tidak diaturnya korporasi atau badan hukum dalam KUHP sebagai subjek hukum pidana menyebabkan korporasi tidak dapat dituntut dan dijatuhi sanksi pidana. Salah satu penyebab belum diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana adalah karena KUHP memegang teguh adagium “actus non-facit reum, nisi mens sit rea” atau “geen straf zonder schuld” yaitu “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” (Moeljatno,2002:6). Dianggap hanya manusia yang memiliki “sikap batin” yang dapat melakukan apa saja yang tidak dilarang oleh hukum, sedangkan badan hukum hanya dapat melakukan apa yang secara eksplisit atau implisit diizinkan oleh hukum atau anggaran dasarnya, oleh karena itu berdasarkan KUHP korporasi atau badan hukum tidak mungkin dapat dibebani pertanggungjawaban pidana (Hamdan,2000:10).
Sejalan dengan perkembangan hukum pidana di Indonesia, undang-undang di luar KUHP yaitu undang-undang pidana khusus telah memperluas subjek hukum pidana yakni tidak hanya terbatas kepada manusia saja tetapi juga kepada korporasi. Beberapa perundang-undangan hukum pidana khusus yang menggunakan istilah korporasi yakni sehubungan tindak pidana korupsi, terorisme, dan pencucian uang. Korporasi dalam hukum pidana dapat berbentuk badan hukum atau non badan hukum (Sjahdeini,2017:20).
Pada bidang perpajakan mengenai ketentuan administrasi sampai dengan ketentuan pidana diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Ketentuan pidana diatur pada Bab VIII UU KUP yaitu mulai dari Pasal 38 sampai dengan Pasal 43 UU KUP. Walaupun telah mengatur ketentuan pasal-pasal pidana, namun pada UU KUP tidak ditemukan rumusan eksplisit mengenai ketentuan pidana terhadap subjek hukum pidana korporasi. Pada Pasal 38 sampai dengan Pasal 43 UU KUP mengenai subjek hukumnya hanya ditentukan “setiap orang” saja tidak ditentukan mengenai subjek hukum badan atau korporasi.
Di sisi lain, pada praktiknya tidak semua korporasi mematuhi kewajiban perpajakannya dan tidak menutup kemungkinan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi bahkan yang merupakan tindak pidana perpajakan. Oleh karena itu terdapat urgensi pengaturan tindak pidana perpajakan bagi korporasi. Mengingat juga dalam praktik peradilan, telah terdapat dua putusan pengadilan pengenaan pidana korporasi bidang perpajakan. Pertama, Putusan Kasasi No. 2239 K/PID.SUS/2012 terhadap korporasi Asia Agri Group dan kedua, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.: 334/Pid. Sus/2020/PN Jkt.Brt terhadap korporasi PT. Gemilang Sukses Garmindo.
Urgensi tindak pidana perpajakan korporasi ini dijawab dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 4 Tahun 2021 Tentang Penerapan Beberapa Ketentuan dalam Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 4 Tahun 2021 tersebut diatur 4 hal mengenai tindak pidana perpajakan yaitu sebagai berikut:
- Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
a.Setiap orang dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dimaknai sebagai orang pribadi dan korporasi.
b.Tindak pidana di bidang perpajakan dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada orang pribadi dan korporasi.
c.Korporasi selain dijatuhkan pidana denda dapat dijatuhkan pidana tambahan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Pengadilan Negeri yang Berwenang Mengadili Praperadilan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Praperadilan terkait tindak pidana di bidang perpajakan diadili oleh pengadilan negeri di daerah hukum tempat kedudukan penyidik atau kedudukan penuntut umum dalam hal permohonan pemberhentian penuntutan.
- Tanggung Jawab Pidana Pengurus dalam Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dalam hal Korporasi Pailit dan/atau Bubar. Pailit dan/atau bubarnya korporasi tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana pengurus dan/atau pihak lain atas tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukannya pada saat terjadinya tindak pidana.
- Pidana percobaan tidak dapat dijatuhkan kepada terdakwa tindak pidana di bidang perpajakan.
Dengan ketentuan-ketentuan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 4 Tahun 2021 tersebut maka ketentuan-ketentuan pidana pada UU KUP dapat diberlakukan bagi orang pribadi maupun badan atau korporasi. Tidak hanya orang pribadi tetapi korporasi juga dapat diminta pertanggunjawaban pidana terkait tindak pidana perpajakan bahkan pailit dan/atau bubarnya korporasi tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dan/atau pihak lain.
Baca juga: Upaya Pra Peradilan Terhadap Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Perpajakan
Dalam menjerat korporasi terkait tindak pidana perpajakan hal yang paling susah adalah pada penentuan kesalahan korporasi mengingat terdapat asas dalam hukum pidana yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan” yang menitikberatkan pentingnya “kesalahan” agar pelaku dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, termasuk pula terhadap subjek hukum korporasi. Oleh karena itu dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 4 Tahun 2021 diharapkan korporasi yang melakukan tindak pidana perpajakan dapat ditentukan kesalahannya dan dapat dimintakan pertanggungjawbannya. Dengan demikian, korporasi di Indonesia dapat lebih berhati-hati dan patuh dalam melaksanakan perpajakannya dengan terus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Download:
Putusan Kasasi No. 2239 K/PID.SUS/2012
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.: 334/Pid. Sus/2020/PN Jkt.Brt
