Author: Stefanus Kurniawan Dharmadji, SH
Materi Arah Kebijakan Hukum Pidana kedepan adalah:
- Penegakan hukum yang memperhitungkan nilai-nilai hak asasi manusia.
- Mengadopsi Penyelesaian Perkara di luar pengadilan (Alternatif Dispute Resolution)
- Menyempurnakan Mekanisme Peninjauan Kembali.
- Membentuk Hakim Komisaris/Hakim Pemeriksa Pendahulan
- Membangun Mekanisme Checks and Balances antar aparatur penegak hukum
- Mengatur MengenaiObstruction of Justice
- Praperadilan
- Pembayaran Uang Pengganti
- Tindak Pidana Korporasi
Menurut T. J. Gunawan terdapat ringkasan dasar teori konsep pemidanaan berbasis nilai kerugian ekonomi Sebagaimana yang telah dijelaskan Soebekti: hakim dalam memutus perkara harus melihat 3 hal:
- Perbuatan melawan hukum: intinya harus salah yaitu memenuhi seluruh ketentuan unsur delik yang dituduhkan;
- Pertanggungjawaban pidana (Criminal Liability), dalam hal ini berbicara tentang beberapa hal antara lain:
- Kemampuan untuk menerima tanggung jawab pidana seperti umur dan kesehatan mental;
- Sengaja atau tidak sengajanya perbuatan: sengaja (Dolus) atau kealpaan (Culpa);
- Ada atau tidaknya alasan pembenar, penghapus, pengurangan, dan pemberatan pidana.
- Penentuan Hukuman: yaitu penentuan besar sanksi pidana dan/atau sanksi tindakan.
Penegakan hukum terhadap pelanggaran atau bahkan kejahatan sarat dengan berbagai persoalan yang terkait dengan tugas dan fungsi serta wewenang yang melekat pada penegak hukumnya. Di sisi lain, persoalan membangun hukum pidana dan penegakan hukumnya, merupakan salah satu aspek krusial dari kebijakan hukum pidana (penal policy) dan kebijakan kriminal (criminal policy) dalam arti luas, termasuk penegakan hukum terhadap berbagai peraturan perundang-undangan pidana di luar KUHP yang semakin berkembang dan kompleks. Konsep ‘penal policy’ salah satunya adalah usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan serta situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Menurut DR. M. Sholehuddin, S.H., M.H., Permasalahannya, secara faktual peraturan perundang-undangan pidana di luar KUHP tersebut tidak hanya bersubstansikan ‘hukum pidana khusus’, tetapi juga banyak yang termasuk katagori ‘hukum pidana administrasi’ (administrative penal law). Kemunculan ‘administrative penal law’ ini bagai jamur di musim hujan yang justru menimbulkan banyak perdebatan teoretik maupun praktik. Bahkan Jaksa Agung RI H.M. Prasetyo saat menyampaikan keynote speech-nya pada Acara Penataran ini menganggap sebagai tantangan yang harus dihadapi dalam penegakan hukum karena terdapat kesulitan untuk memisahkan antara tindak pidana dengan pelanggaran di bidang administrasi.
Menurut Prof. Dr. M. Arief Amrullah sehubugan telah diakuinya korporasi sebagai subjek hukum dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, maka korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana apabila telah melakukan tindak pidana korupsi. Pertanyaannya, kapan suatu tindak pidana korupsi dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi? Dalam hubungan ini, Pasal 20 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 menentukan : “Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”.
Rumusan dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tidak menentukan secara pasti kapan suatu korporasi dapat dinyatakan sebagai pelaku atau telah melakukan tindak pidana korupsi. Atau, dengan kata lain, tidak menjelaskan pengertian kapan suatu korporasi dikatakan melakukan tindak pidana korupsi. Dibandingkan dengan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang lebih tegas menentukan suatu tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh korporasi, yaitu: “Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”.
Sekilas tentang pengaturan pidana dalam RUU KUHP:
Pidana Pokok
(Pasal 65 & 66)
- pidana penjara;
- pidana tutupan;
- pidana pengawasan;
- pidana denda; dan
- pidana kerja sosial.
[pidana khusus (mati)]
Pidana tambahan
(Pasal 69A)
- pencabutan hak tertentu;
- perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
- pengumuman putusan hakim;
- pembayaran ganti kerugian;
- pencabutan SIM;
- pemenuhan kewajiban adat setempat
Tindakan
(Pasal 65 & 66)
- perbaikan akibatp.;
- latihan kerja;
- rehabilitasi;
- perawatan di lembaga;
- perawatan di RSJ;
- penyerahan kepada pemerintah;
- penyerahan pada seseorang
