Author: Amarullahi Ajebi, S.H.
Pada dasarnya hak pemegang merek sama dengan hak yang melekat pada Hak Kekayaan Intelektual (HKI) lainnya, yakni memiliki hak eksklusif sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Selanjutnya UU Merek) yang menyatakan “Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.”
Artinya, pemegang hak merek mempunyai hak monopoli untuk mempergunakan haknya serta melarang dan menuntut terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh siapapun kecuali telah memperoleh persetujuan dari pemegang merek salah satunya melalui pengalihan hak. Pengalihan hak atas merek terdaftar diatur dalam Pasal 41 ayat (1) huruf c UU Merek yang menyatakan “Hak atas merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena wakaf.”
Baca juga: Apakah Perwujudan Ide Dari Karya Tulis Yang Terdaftar Hak Cipta Termasuk Pelanggaran?
Wakaf menjadi salah satu metode pengalihan hak merek merupakan pembahasan yang menarik karena pada dasarnya sifat antara merek dan wakaf saling bertentangan (Riswandi, 2016:135). Wakaf memiliki sifat kepemilikan bersama atau komunal sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (selanjutnya disebut UU Wakaf) yakni wakaf diartikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Sedangkan merek memiliki sifat kepemilikan yang eksklusif dan individual sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU Merek yakni merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
Permasalahan wakaf merek saat ini adalah tidak adanya pengaturan mengenai tata cara permohonan pencatatan pengalihan hak atas merek dalam UU Merek. Karena dalam Pasal 41 ayat (9) UU Merek hanya menjelaskan bahwa syarat dan tata cara permohonan pencatatan pengalihan hak atas merek diatur dengan Peraturan Menteri. Namun, sampai saat ini masih belum dibentuk Peraturan Menteri tersebut, sehingga terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum). Maka dari itu, keberadaan UU Wakaf diperlukan untuk mengisi kekosongan pengaturan mengenai syarat dan tata cara wakaf merek (Dhiwangga, 2018:89).
Hak merek yang termasuk dalam hak kekayaan intelektual sebagai objek wakaf termasuk dalam benda bergerak sebagaimana terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Wakaf yakni “Harta benda wakaf terdiri dari benda bergerak.” Selanjutnya, Pasal 16 ayat (3) huruf e UU Wakaf “Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi hak atas kekayaan intelektual.”
Dijelaskan lebih lanjut lagi mengenai merek sebagai objek harta benda wakaf di dalam Pasal 21 huruf b angka 2 PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yakni “Benda bergerak selain uang karena peraturan perundang-undangan yang dapat diwakafkan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah sebagai berikut hak atas kekayaan intelektual yang berupa hak merk.” Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hak merek merupakan salah satu objek harta benda wakaf yang dimaksud dalam UU Wakaf.
Hak merek yang dapat diwakafkan apabila telah sesuai dengan ketentuan syariah hal tersebut berdasarkan Pasal 16 ayat (3) huruf g UU Wakaf yang menyatakan “Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal tersebut secara eksplisit mengatur bahwa objek harta benda wakaf harus sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut berlaku bagi seluruh objek wakaf termasuk merek, Sementara untuk merek-merek yang tidak sesuai dengan syariah tidak bisa menjadi objek wakaf, seperti merek minuman keras, merek makanan non-halal, dan lain-lain.
Dari segi manfaat wakaf merek sangat bergantung pada hak ekonomi dari kegiatan jual beli produk barang dan/atau jasa dari merek tersebut. Karena dalam perdagangan, keberadaan merek tidak bisa terlepas dari kegiatan jual beli produk barang dan/atau jasa. Sehingga hak ekonomi yang melekat pada merek untuk diambil manfaat dari wakaf merek dibolehkan selama memberikan keuntungan dan manfaat bagi tujuan peruntukan wakaf merek serta tetap berada pada ketentuan syariah (Dhiwangga, 2018:97).
Mengenai jangka waktu wakaf merek berdasarkan Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU Merek yakni: (1) Merek terdaftar mendapat pelindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak Tanggal Penerimaan. (2) Jangka waktu pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.”
Merek merupakan hak yang memiliki jangka waktu yang terbatas. Namun, dari definisi wakaf yang terdapat Pasal 1 angka 1 UU Wakaf terdapat frasa “…dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu…” hal tersebut seolah-olah wakaf dapat dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu dan dapat dicabut kembali. Namun yang terjadi sebenarnya tidak demikian, wakaf harus dilakukan selamanya, yaitu dalam hal wakif melepaskan hartanya yang telah diwakafkan. Jadi tidak boleh seorang wakif mencabut ikrar wakaf atas benda yang telah diwakafkan dengan alasan apapun. Jangka waktu tertentu di sini dimaksudkan untuk objek harta benda wakaf, bukan wakaf secara keseluruhan. Tujuannya adalah untuk memberikan peluang seluas-luasnya kepada wakif untuk mewakafkan harta benda sekalipun memiliki jangka waktu yang terbatas.
Berdasarkan penjelasan tersebut menurut penulis, dalam hal wakif melapas hak mereknya sebagai wakaf merek harus dilakukan selamanya. Mengenai jangka waktu yang melekat pada perlindungan mereknya sebagaimana Pasal 35 UU Merek yakni 10 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama, maka nadzir (sebagai pengelola harta benda wakaf) dapat mengambil hak ekonomi dari memanfaat merek yang telah diwakafkan tersebut untuk jangka waktu 10 tahun dan dapat diperpanjang. Namun apabila nadzir tidak memperpanjang jangka waktu perlindungan merek tersebut, maka hak-hak yang melekat pada merek tersebut akan hilang.
Tag: Berita , Artikel , Konsultan Kekayaan Intelektual