(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Antonisu Gunawan D., SH

Memahami perjanjian perkawinan (Prenuptial Agreement) tidak terlepas dari konsep harta. Di dalam Pasal 119 Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW) terdapat suatu konsep percampuran harta, yaitu bercampurnya harta asal antara suami dan isteri menjadi harta bersama. Lebih lanjut pasal tersebut mengatur bahwa percampuran harta di dalam perkawinan tidaklah mutlak, ketentuan ini dapat dikesampingkan dengan membuat suatu perjanjian perkawinan.

Pengaturan mengenai harta perkawinan yang diatur di dalam BW saat ini sudahlah tidak berlaku. Pengaturan harta perkawinan yang berlaku di dalam hukum positif saat ini terdapat di dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat UUP) mengatur sebagai berikut:

  • Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
  • Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Lebih lanjut pengaturan terkait perjanjian perkawinan diatur di dalam 29 UUP, yang memuat ketentuan:

  • Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
  • Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
  • Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
  • Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Pengaturan perjanjian perkawinan di dalam Pasal 29 UUP telah di judicial review dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, sehingga berubah menjadi berikut:

  • Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
  • Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
  • Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
  • Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Latar belakang dari judicial review tersebut adalah adanaya pemohon Ike Farida, seorang warga negara Indonesia yang menikah dengan warga negara Jepang, mendapatkan permasalahan terkait kepemilikan tanah dalam pernikahan campuran antara Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA), dimana keduanya tidak sempat membuat perjanjian perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan. Sebagaimana Pasal 35 ayat (1) UUP maka harta yang diperoleh setelah perkawinan akan menjadi harta bersama, namun ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mengatur bahwa kepemilikan tanah hanya WNI yang dapat diizinkan untuk memiliki tanah dengan status hak milik. Hal ini menyebabkan perkawinan campuran tidak dapat membeli tanah dengan status hak milik.

Di dalam pertimbangan hukumnya MK berpendapat alasan umum yang dijadikan landasan dibuatnya perjanjian perkawinan adalah adanya kealpaan dan ketidaktahuan bahwa dalam UUP ada ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan. Alasan lainnya adalah adanya risiko yang mungkin timbul dari harta bersama dalam perkawinan karena perkejaan suami atau isteri memiliki konsekuensi dan tanggung jawab terhadap harta pribadi, sehingga masing-masing harta yang diperoleh dapat tetap menjadi milik pribadi.

Akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan setalah kawin terhadap status harta berkaitan erat dengan waktu mulai berlakunya perjanjian tersebut. Telah diuraikan sebelumnya bahwa untuk perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan, sesuai ketentuan Pasal 29 UUP, perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Pertanyaan yang timbul pasca Putusan MK tersebut adalah mengenai mulai kapan perjanjian perkawian tersebut berlakau, sejak pembuatan perjanjian perkawinan atau berlaku surut sejak tanggal perkawinan.

Di dalam amar Nomor 1.3 Putusan MK mengatur, “…Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”. Maka jelas bahwa perjanjian perkawinan pasca perkawinan berlangsung berlaku sejak tanggal dilangsungkannya perkawinan. Namun hal ini dapat dikesampingkan apabila suami dan isteri menentukan lain di dalam isi perjanjian perkawian.

 

Referensi

Burgelijk Wetboek (BW);

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

Dwinopianti, Eva, ‘Implikasi dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015 terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Kawin yang Dibuat di Hadapan Notaris’, Lex Rennais, Vol. 2, No. 1, 2017;

Sahbani, Agus, “Pelaku Kawin Campur Gugat UU Agraria dan UU Perkawinan, www.hukumonline.com, 11 Juni 2015, dikunjungi pada tanggal 5 Januari 2018;