(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Putri Ayu Trisnawati, S.H.

Peninjauan Kembali (PK) adalah suatu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terpidana dalam suatu kasus hukum terhadap suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam sistem peradilan di Indonesia. Putusan pengadilan yang disebut mempunyai kekuatan hukum tetap ialah putusan Pengadilan Negeri yang tidak diajukan upaya Banding, putusan Pengadilan Tinggi yang tidak diajukan Kasasi upaya hukum di tingkat Mahkamah Agung, atau putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA). PK tidak dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap apabila putusan tersebut menyatakan bahwa terdakwa bebas.

Istilah peninjauan kembali dalam perundang-undangan nasional mulai digunakan pada Undang-Undang No 19 tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 15 undang-undang tersebut disebutkan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat dimohon peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan, yang ditentukan dengan undang-undang. Permohonan PK dalam sistem peradilan umum di Indonesia diterima oleh Mahkamah Agung melalui Lembaga Peninjauan Kembali (Lembaga PK). Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1980 mengenai Peninjauan Kembali yang menjadi dasar melakukan upaya hukum luar biasa dalam KUHAP Republik Indonesia saat ini.

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab XVIII UU Nomor 8 Tahun 1981, peninjauan kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan di Indonesia. Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa yaitu persidangan di Pengadilan Negeri, banding pada Pengadilan Tinggi, dan kasasi di Mahkamah Agung. Dalam upaya hukum biasa, kasasi Mahkamah Agung merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh untuk mendapatkan keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perkara. Putusan Kasasi Mahkamah Agung bersifat akhir, mengikat, dan berkekuatan hukum tetap. PK dapat diajukan terhadap putusan Kasasi Mahkamah Agung apabila pada putusan sebelumnya diketahui terdapat kesalahan atau kekhilafan hakim dalam memutus perkara ataupun terdapat bukti baru yang belum pernah diungkapkan dalam persidangan.

Dalam Pasal 268 ayat 3 KUHAP, dijelaskan bahwa PK terhadap suatu putusan pengadilan hanya dapat dilakukan satu kali. Pasal 263 ayat 1 KUHAP juga menegaskan bahwa yang berhak mengajukan PK ialah terpidana atau ahli warisnya. Namun, dalam perkembangan praktik peradilan saat ini terdapat tiga pihak yang dapat mengajukan PK yaitu terpidana, ahli waris, atau kuasa hukum terpidana.

Putusan MK No 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK bertentangan dengan konstitusi adalah cacat hukum karena masih ada aturan yang membatasi pengajuan PK yaitu Pasal 24 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Kedua peraturan ini tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi berbunyi:

  1. Pasal 24 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”.
  1. Pasal 66 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung “Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”.

Sehingga pada akhir tahun 2014. Mahkamah Agung (MA) membatasi pengajuan Peninjauan Kembali (PK) hanya satu kali. dalam putusan tersebut menyebutkan kebijakan diambil untuk memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Mahkamah Agung menginstruksikan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia untuk tidak mengirimkan berkas PK lebih dari satu kali.

Keputusan MA tersebut tertuang dalam Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2014. Dalam surat itu MA juga masih memberi kelonggaran bagi pelaku tindak pidana maupun perdata. Apabila putusan PK pertama yang telah diajukan bertentangan dengan putusan pengadilan sebelumnya, maka PK dapat diajukan lagi.

Kebijakan itu diambil merujuk pada sejumlah undang-undang yang berlaku. UU tersebut di antaranya UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 24 ayat 2 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 66 ayat 1 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA Pasal 66 ayat (1). Ketiga peraturan tersebut membatasi pengajuan PK sebanyak satu kali. Menurut MA, putusan Mahkamah Konsitusi dengan Nomor: 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 yang membatalkan Pasal 24 UU Kekuasaan Kehakiman, tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonan peninjauan kembali dalam tiga undang-undang tersebut.