Author: Nur Laila Agustin, S.H.
Semakin berkembangnya teknologi digital di Indonesia, maka semakin memudahkan masyarakat untuk mengakses segala hal. Hanya membutuhkan paket data dan handphone untuk mengaksesnya. Salah satu yang sering diakses adalah lagu, film, buku dan lain sebagainya. Namun, banyak masyarakat nakal yang memanfaatkan teknologi digital untuk melakukan kecurangan demi mendapatkan keuntungan ekomoni. Seperti yang pernah terjadi pada tahun 2021 lalu, maraknya penyebaran buku elektronik (e-book) berformat PDF dengan harga jual yang relatif murah melalui marketplace bahkan ada yang dibagikan secara gratis melalui WhatsApp tanpa sepengetahuan pencipta dan penerbitnya. Adapula beberapa penulis yang tergabung dalam Perkumpulan Peduli Karya Cipta (PPKC) merasa keberatan penyebarluasan e-book secara gratis melalui media elektronik tanpa seizin penulis (DJKI, 2021).
Hal ini dapat dikatakan pelanggaran hak cipta karena termasuk tindakan penyalinan atau penggandaan atas karya tulis seperti buku, jurnal, novel, majalah tanpa izin dari pencipta. Hasil dari penggandaan tersebut diedarkan dengan harga jual yang lebih murah dalam bentuk PDF atau yang biasanya dikenal e-book. E-book atau buku elektronik adalah publikasi buku yang tersedia dalam bentuk digital yang isinya terdiri dari gambar, teks, atau mungkin keduanya. Buku elektronik bisa dibuka dan dibaca melalui ponsel pintar, komputer, atau beberapa perangkat elektronik lainnya. Tindakan tersebut dapat dikatakan pembajakan sesuai dengan Pasal angka 23 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta), pembajakan adalah penggandaan ciptaan dan/atau produk hak terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Jadi, suatu kasus masuk dalam kategori pembajakan jika memenuhi dua unsur, yaitu penggandaan tanpa izin dan pendistribusiannya untuk memperoleh keuntungan komersial.
Baca juga: Pengusaha Jamu Terkenal dan Berizin Tidak Dapat Mendaftarkan Merek di DJKI, Mengapa Demikian?
Jika melihat dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a UU Hak Cipta disebutkan bahwa buku dan semua karya tulis lainnya adalah ciptaan yang dilindungi, termasuk buku dalam format PDF ataupun E-Book. Bentuk pelanggaran terhadap objek digital ini merupakan pelanggaran baru yang dapat disebut dengan indirect infringement adalah pelanggaran secara tidak langsung, biasanya melakukannya secara sembunyi-sembunyi dan mendistribusikan antar teman.
Banyaknya orang yang tidak bertanggungjawab mengunduh karya tulis elektronik yang memang diizinkan secara gratis untuk digunakan, kemudian diparafrase/modifikasi tulisan kemudian diunggah menggunakan website yang berbayar guna mendapatkan keuntungan ekonomi. Penyebaran e-book ini tentunya dapat merugikan penulis baik secara moral maupun ekonomi. Akan tetapi terkait dengan hak ekonomi tidak berlaku apabila penggunaan kutipan singkat untuk keperluan penyediaan informasi aktual, penggandaan kepentingan penelitian ilmu pengetahuan dan untuk keperluan pengajaran (DJKI, 2021).
Dalam hal ini pencipta, atau pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait ataupun ahli waris jika terjadi pelanggaran atas hak ciptanya dapat diselesaikan melalui jalur mediasi ataupun jalur pengadilan. Hal ini telah dijelaskan dalam Pasal 95 ayat (4) UU Hak Cipta yaitu “Selain pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait dalam bentuk pembajakan, sepanjang para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana.” Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang sederhana dan cepat. Namun jika proses mediasi tidak berhasil maka dapat melakukan tuntutan pidana apabila yang diinginkan oleh pencipta berupa pelajaran karena telah membajak ciptaannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 113 ayat (4) UU Hak Cipta yaitu “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).”
Baca juga: Menilik Lebih Jauh Polemik Sengketa Merek Antara MS Glow Dengan PStore Glow
Dengan maraknya pembajakan yang semakin meresahkan pencipta, sebenarnya terdapat salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pencipta sendiri untuk melindungi ciptaannya dari pembajakan, yaitu dengan cara mengamankan buku digital ciptaannya melalui platform Digital Rights Managements (DRM) atau Manajemen Hak Digital. DRM adalah sebuah teknologi yang mengatur akses oleh pihak penerbit atau pencipta untuk melakukan pembatasan atas penggunaan suatu media atau karya digital. Teknologi DRM ini membuat e-book hanya dapat terbaca pada satu device digital saja dan jika ingin dipindahkan keperangkat lain tidak akan bisa. Hal ini untuk mencegah penggandaan atau pembajakan e-book tersebut (Simangunsong, Santoso, & Lumbanraja, 2021).
Tag: Berita , Artikel , Konsultan Kekayaan Intelektual