Author: Stefanus Kurniawan Dharmadji, SH
Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan Putusan No. 63/PUU-XV/2017 atas pengujian Pasal 32 ayat (3a) UU KUP terhadap UUD 1945 yang iajukan oleh Petrus Bala Pattyona. Pasal 32 ayat (3a) UU KUP menyatakan: “Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”. Permasalahan dalam pengujian Undang-Undang tersebut adalah persoalan pendelegasian kewenangan dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP apakah bertentangan dengan UUD 1945.
Ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU 16/2009 yang diuji Pemohon memberikan kewenangan yang absolut kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa untuk melaksanakan kedaulatan wajib pajak yang berarti sama saja menempatkan Menteri Keuangan berkedudukan lebih tinggi dari kedaulatan rakyat. Karena hanya hal-hal yang bersifat teknis administratif dari pengakuan, pembatasan, penghormatan, pengurangan, pencabutan atau perluasan hak itu saja yang dapat didelegasikan pengaturannya kepada pejabat setingkat Menteri Keuangan.
Selain itu adanya potensi pada ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dapat menyebabkan Menteri Keuangan dengan kewenangannya dapat sewaktuwaktu mengubah, mengganti dan/atau menghapus ketentuan-ketentuan mengenai persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa untuk tujuan mengintervensi Kuasa Hukum yang ditunjuk oleh Pemohon Wajib Pajak.
Oleh karena hal tersebut, hal-hal yang bersifat pembatasan hak dan kewajiban yang belum diatur dalam UU tidak dapat didelegasikan melalui sebuah Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksana.
Menurut Mahkamah, bahwa terdapat beberapa hal yang tidak diatur dalam UU KUP, diantaranya:
- Tidak adanya aturan lebih lanjut atas kriteria orang yang dapat bertindak sebagai kuasa.
- Tidak adanya aturan standar pemahaman masalah perpajakan yang harus dimiliki oleh seorang kuasa untuk dapat bertindak sebagai kuasa Wajib Pajak.
- Tidak adanya aturan tentang bagaimana seorang kuasa menjalankan hak dan kewajibannya sebagai kuasa.
- Tidak adanya aturan tentang status Kuasa Wajib Pajak sebagai profesi yang mandiri dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan.
Namun UU KUP hanya sebatas mengatur syarat umum dari seorang kuasa Wajib Pajak, yaitu memahami masalah perpajakan.
Untuk memastikan agar hak dan kewajiban wajib pajak berjalan dengan baik dan dikuasakan kepada atau didampingi oleh Kuasa yang menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Kuasa wajib pajak, hal-hal yang berhubungan dengan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa wajib pajak tidak dapat diposisikan hanya sekedar hal yang bersifat teknis administratif. Oleh karena itu, hal tersebut bukanlah hal yang bersifat teknis administratif, melainkan lebih bersifat substantif karena berhubungan dengan pembatasan hak seseorang dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya yang seharusnya diatur dalam UU KUP.
Menurut Mahkamah, pendelegasian kewenangan dari peraturan yang lebih tinggi kepada peraturan yang tingkatannya lebih rendah secara hierarki tidak boleh bertentangan dengan materi muatan yang secara konstitusional seharusnya menjadi substansi materi muatan dari masing-masing jenis peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dari Putusan MK ini dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memahami masalah perpajakan dapat menjadi kuasa wajib pajak. Sikap pemerintah yang membatasi bahwa pihak yang benar-benar kompeten di bidang perpajakan adalah konsultan pajak dan karyawan wajib pajak, tidak dibenarkan. Dengan Putusan MK tersebut maka secara substantif seseorang berhak menjadi Kuasa wajib pajak apabila ia telah memenuhi syarat umum atau syarat subtantif dalam UU KUP, yaitu memahami masalah perpajakan. Putusan MK ini menjamin hak wajib pajak untuk memberikan kuasa kepada pihak lain yang dinilainya memahami masalah-masalah perpajakan dan memperjuangkan hak-hak maupun kepentingannya sebagai wajib pajak.
Kesimpulan atas Putusan MK ini adalah persyaratan Kuasa dalam Pasal 32(3a) UU KUP dan pendelegasian kewenangan untuk mengatur persyaratan Kuasa melalui aturan pelaksananya yang membatasi hak wajib pajak untuk menunjuk Kuasa dan hak seseorang untuk menerima kuasa adalah tidak mengikat secara hukum karena bertentangan dengan materi aturan yang bersifat substantif dalam UU KUP yaitu setiap mereka yang memahami masalah perpajakan dapat menjadi Kuasa. Dapat diartikan bahwa hak wajib pajak untuk menunjuk seorang Kuasa tersebut tidak lagi ada pembatasan oleh aturan yang mensyaratkan penerima kuasa adalah seorang konsultan pajak atau karyawan perusahaan sebagaimana yang diatur dalam PMK-229/2014 tentang Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa.
Sumber:
- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 63/PUU-XV/2017;
- https://news.ddtc.co.id/implikasi–putusan-mk-no-63-puu-xv-2017-bagi-kuasa-wajib-pajak-12584#.WuKTU7F0S5E.whatsapp
