Author: Putri Ayu Trisnawati, S.H.
Profesi luhur dan terhormat pada Hakim sudah lama dicemari oleh pelaku profesi hukum sendiri. Selama ini, profesional hukum lebih memihak pada kekuasaan dan konglomerat dari pada rasa keadilan masyarakat. Aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat kental pada penyelenggaraan peradilan. Akibatnya, profesi hukum dituduh sebagai salah satu white collar crime (penjahat berdasi) atau educated criminals (penjahat terpelajar). Penyalahgunaan ini dapat terjadi karena aspek persaingan dalam mencapai popularitas diri dan financial atau karena tidak adanya disiplin diri. Para profesional yang dianggap memiliki kedudukan paling tinggi di Indonesia ini berkompetisi dengan menginjak-injak asas solidaritas dengan teman seprofesi dan asas solidaritas pada klien atau pencari keadilan yang kurang mampu.
Berprofesi sebagai seorang Hakim wajib menjunjung tinggi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagai panduan keutamaan moral bagi setiap Hakim, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Hal tersebut diatur dalam Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 02/PB/MA/IX/2012 / 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Proses peradilan yang netral, mandiri, kompeten, profesional, dan transparan merupakan hal yang wajib dilakukan sekaligus menjadi syarat penting dalam ruang kehidupan suatu negara hukum. Adapun pilar utama yang harus sesuai agar memenuhi syarat tersebut adalah bagaimana cara hakim bekerja memutus perkara dalam suatu proses pengadilan. Seorang hakim harus selalu memelihara integritas, profesionalitas, kepekaan nurani, dan kecerdasan moral dalam menegakkan keadilan bagi masyarakat luas.
Baca juga: Pengawasan Mahkamah Agung Terhadap Proses Peradilan
Dalam melaksanakan dan menjalankan tugasnya, hakim bertanggungjawab tinggi dalam menyelesaikan perkara yang ditanganinya, karena mendapatkan pengawasan baik internal maupun eksternal oleh Mahkamah Agung melalui Majelis Kehormatan Hakim dan Komisi Yudisial. Kedua institusi negara ini dibentuk bertujuan untuk senantiasa memastikan bahwa seorang Hakim menjunjung tinggi kejujuran, integritas, serta tanggungjawab baik dalam proses menangani perkara maupun di kehidupan sehari-hari. Apabila Hakim terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Hakim, sanksi tegas akan diberikan tergantung berat tidaknya pelanggaran yang dilakukan.
Berdasarkan Pasal 19 Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, disebutkan bahwa terdapat tiga sanksi bagi Hakim yang melakukan pelanggaran, yaitu sanksi ringan, sanksi sedang, dan sanksi berat. Selanjutnya pada Pasal 20 disebutkan, sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 berlaku untuk Hakim Karier pada pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Sementara terhadap Hakim di lingkungan peradilan militer, proses penjatuhan sanksi diberikan dengan memperhatikan peraturan disiplin yang berlaku bagi prajurit Tentara Nasional Indonesia.
Saat ini, tidak sedikit kasus pelanggaran yang dilakukan oleh para hakim terhadap kode etik yang dilaporkan langsung kepada Komisi Yudisial. Kasus temuan terbaru yang saat ini menjadi perhatian publik datang dari Pengadilan Negeri Surabaya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Oprasi Tangkap Tangan (OTT) di Pengadilan Negeri Surabaya pada Rabu (19/1/2022) sekitar pukul 15.30 WIB. Dalam OTT tersebut KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka kasus suap pengurusan perkara. Ketiga tersangka itu adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Surabaya yaitu Itong Isnaini Hidayat, Hamdan selaku Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Surabaya dan Hendro Kasiono selaku pengacara dan kuasa dari PT. Soyu Giri Primedika (SGP). KPK turut mengamankan dua orang lainnya yaitu Dewi sebagai sekretaris Hendro Kasiono dan Achmad Prihanto selaku Direktur PT SGP. Namun KPK belum menetapkan status hukum untuk keduanya.
Komisioner KPK Nawawi Pomolango mengatakan, ketiga tersangka diduga melakukan kesepakatan agar pengadilan memutuskan membubarkan PT. SGP. Sebab jika PT. SGP dibubarkan terdapat aset dalam jumlah besar yang bisa dibagikan sejumlah Rp. 50 miliar. Nawawi mengungkapkan Hendro dengan PT. SGP diduga menyiapkan dana senilai Rp 1,3 miliar untuk mengurus perkara ini dari pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung (MA). Guna Merealisasikan rencana tersebut, Handro menjalin komunikasi dengan Hamdan. Setelah komunikasi terjalin, Hamdan memberi tahu Itong tentang tawaran itu. Sebab, Itong merupakan hakim tunggal dalam perkara pembubaran PT SGP.
Para tersangka kasus dugaan suap yang tertangkap tangan oleh KPK saat ini dilakukan penahanan di Rutan selama 20 hari pertama terhitung sejak tanggal 20 Januari 2022 sampai dengan 8 Februari 2022. Hendro Kasiono ditahan di Rutan Polres Metro Jakarta Pusat. Hamdan ditahan di Rutan Polres Jakarta Timur dan Itong Isnaeni Hidayat ditahan di Rutan KPK pada Kavling C1. Sehingga, atas dasar penetapan tersangka terhadap Hakim dan Panitera, Plt. Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Dwiarso Budi Santiarto menegaskan Itong dan Hamdan diberhentikan sementara oleh Ketua Mahkamah Agung.
Contoh kasus di atas adalah bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim yang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak keadilan karena telah berkomunikasi dan atau bertemu dengan salah satu pihak yang sedang berperkara di pengadilan dan di luar pengadilan serta meminta atau menerima hadiah/pemberian/pinjaman dari advokat/terdakwa/saksi.
Baca juga: Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Hakim
Wujud dari prilaku hakim yang tidak profesional tersebut diatas tidak sejalan dengan prinsip The Four Commandments for Judges, yaitu:
- to hear corteusly (mendengar dengan sopan dan beradab);
- to answer wisely (menjawab dengan arif dan beradab);
- to consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun); dan
- to decide impartially (memutus tidak berat sebelah).
Berdasarkan kasus penangkapan OTT oleh KPK menambah semakin banyaknya daftar hakim yang melanggar kode etik. Pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim tersebut sangat mencederai hukum di Indonesia. Karena Hakim telah melanggar prinsip-prinsip kode etik yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 02/PB/MA/IX/2012 / 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.