Author: Ihda Aulia Rahma, S.H.
Istilah “kohabitasi” digunakan untuk menyebut salah satu bentuk penyimpangan yang terjadi di Indonesia, yakni hidup bersama tanpa adanya ikatan suatu perkawinan yang antara seorang pria dan seorang wanita dimana mereka bersama tinggal di dalam satu rumah. Disebut sebagai salah satu bentuk penyimpangan karena di Indonesia sendiri menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan dalam kehidupan bermasyarakat (Danardana, Setyawan, 2022:210). Dimana dalam hal ini “kohabitasi” merupakan suatu hal yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan yang ada dalam kehidupan masyarakat yang mengharuskan adanya ikatan pernikahan ketika ingin hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita dalam satu rumah.
Meskipun termasuk dalam perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan yang ada, kohabitasi atau dikenal juga dengan kumpul kebo belum diatur secara yuridis normatif dalam hukum pidana di Indonesia. Hukum pidana Indonesia hanya mengatur terkait perzinaan yang diatur dalam Pasal 247 KUHP yang hanya mengancam sanksi pidana terhadap persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang salah satu ataupun keduanya sudah terikat perkawinan. Terhadap hal tersebut kemudian pemerintah membentuk RKUHP terbaru yang didalamnya mengatur terkait kohabitasi, tidak terbatas pada RKUHP terbaru juga dilakukan perubahan dalam tindak pidana perzinaan.
Baca juga: Menelisik Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) Berat Dalam KUHP Terbaru
Pengaturan terkait kohabitasi dan perzinaan ini diatur dalam bagian keempat terkait Perzinaan yakni dalam Pasal 415 dan Pasal 416. Dalam Pasal 415 diatur bahwa “Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.” Sedangkan dalam Pasal 416 diatur terkait Kohabitasi yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”. Kedua pasal ini dikategorikan sebagai delik aduan yang artinya hanya diproses apabila terdapat pengaduan dari pihak tertentu sesuai peraturan perundang-undangan.
Melihat hal tersebut diatas dalam pasal yang mengatur terkait perzinaan terdapat perubahan, yakni jika sebelumnya KUHP hanya mengancam pidana terhadap perzinaan yang dilakukan apabila salah satu atau keduanya terikat perkawinan atau pernikahan dengan orang lain, maka dalam RKUHP meskipun keduanya tidak terikat pernikahan dengan orang lain dapat diancam dengan pidana. Adanya perluasan tindak pidana perzinaan dan diaturnya kohabitasi dalam RKUHP menimbulkan beberapa persepsi baik yang mendukung ataupun menolak. Hal ini kemudian menjadi pembahasan yang cukup panjang mengingat pada akhirnya RKUHP tersebut telah disahkan.
Komnas Perempuan menilai adanya ketentuan terkait kohabitasi dan perzinaan dalam RKUHP berpotensi merugikan dan melanggar hak perempuan. Dalam pernyataan sikapnya Komnas Perempuan Indonesia menyebutkan beberapa alasan yang mendasari pandangannya, yakni (Komnas Perempuan, 2022):
- Pasal perzinaan dan kohabitasi melanggar hak privasi seseorang.
- Perluasan delik aduan pada orang tua atau anak dalam hal pelaku tidak terikat perkawinan, dimana pasangannya justru terikat pada perkawinan akan mengurangi daya dari pihak suami/istri tersebut untuk memperbaiki kehidupan rumah tangganya.
- Tindak pidana kohabitasi berpotensi mengkriminalisasi perempuan secara tidak proporsional. Sebab terdapat beberapa perempuan yang memilih tidak terikat dalam lembaga perkawinan dengan berbagai alasan dan perkawinan tidak tercatat.
- Tindak pidana perzinaan juga sering kali dekat dengan isu moralitas berbasis agama sehingga berpotensi disalahgunakan dimana dalam praktiknya kerap memojokkan perempuan sebagai pihak yang disalahkan, sehingga menjadi rentan dikriminalisasi.
- Banyaknya kriminalisasi beresiko menambah beban di rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan.
Sejalan dengan hal tersebut diatas Citra Referandum, pengacara publik LBH Jakarta menyatakan bahwa pasal-pasal kohabitasi rentan digunakan untuk mengkriminalisasi perempuan korban kekerasan seksual. Citra menyebutkan “Ketika korban speak up, kemudian melaporkan, nanti ada kemungkinan pelaku melaporkan dengan pasal kohabitasi untuk mengkriminalisasi perempuan korban kekerasan seksual, karena dianggap melakukan hubungan seks sebelum perkawinan”. Naila Rizqi, aktivis hak-hak perempuan juga menyebutkan hal yang sama, yakni yang paling membahayakan dari pasal-pasal kesusilaan adalah perempuan bisa menjadi korban untuk kedua kalinya (Ekawati, 2022).
Baca juga: Bagaimana Perlindungan Hukum Logo, termasuk Hak Cipta atau Merek?
Dalam penyusunannya sendiri adanya pasal kohabitasi dan perzinaan dalam RKUHP dimaksudkan untuk melindungi perkawinan. Karena perkawinan merupakan perbuatan dengan janji pasangan calon suami istri di depan lembaga perkawinan. Pun dalam kedua pasal ini dikategorikan sebagai delik aduan sehingga untuk diproses secara hukum harus ada pengaduan terlebih dahulu dari pihak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Kohabitasi juga tidak mengancam pasangan yang telah melakukan perkawinan sah secara agama tetapi tidak secara negara atau nikah siri. Wamenkumham Prof. Edward Omar Sharif Hiariej menyebutkan bahwa “Pernikahan secara agama dianggap sah secara agama sehingga tidak bisa dipidana”. Menurutnya dengan dimasukkannya ketentuan kohabitasi dan perzinaan dalam RKUHP sebagai delik aduan telah menjadi jalan tengah (Hidayat, 2022).