(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Nur Laila Agustin, S.H.

Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang dilindungi oleh negara. Di Indonesia sendiri kebebasan berpendapat diatur dalam Pasal 28 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan: “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Dalam menyampaikan pendapat kini dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Penyampaian yang dilakukan secara langsung dapat berupa pawai, unjuk rasa dan demonstrasi. Adapun penyampaian dilakukan secara tidak langsung dapat menggunakan media sosial. Namun dalam penggunaan media sosial sedikit dikhawatirkan, hal ini disebabkan dalam menyampaikan informasi atau keluhan tersebut penyebaran tentang hoax itu sebagian besar dilakukan di media-media sosial (Sulselprov, 2022). Dalam menyampaikan pendapat yang secara langsung seperti pawai, unjuk rasa maupun demonstrasi tetap harus dilakukan secara tertib, tidak melanggar peraturan, dan tidak terjadi anarkis.

Baca juga: Kontroversi Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden Dalam KUHP Terbaru

Disahkannya RUU KUHP, didalamnya ternyata terdapat peraturan yang mengatur mengenai pelaksanaan pawai, unjuk rasa maupun demonstrasi. Pengaturan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 256 KUHP terbaru, yakni: “Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”

Banyak masyarakat yang mempermasalahkan pasal tersebut, baik dari segi delik yang digunakan, pidana yang diancamkan serta mekanis pelaksanaan pasal tersebut. Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnu, Pasal 256 KUHP ini berpotensi menjadi pasal karet karena dapat dipidanakan masyarakat yang melakukan unjuk rasa untuk menagih haknya karena tidak memberitahukan sebelumnya akan diadakan unjuk rasa (Hidayat, 2022). Pada prinsip yang mana juga telah diatur dalam Pasal 28 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa pendapat adalah hak setiap orang secara bebas.

Dalam frasa “pemberitahuan” seharusnya diberikan penjelasan, hanya pemberitahuan saja kepada aparat yang berwenang, melakukan koordinasi dengan pihak yang berwenang atau harus meminta izin terlebih dahulu kepada aparat yang berwenang dalam hal untuk melakukan pawai, unjuk rasa maupun demonstrasi. Hal ini menjadikan adanya pengaturan ruang privat publik.

Adapun frasa “mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat” umumnya setiap ada pelaksanaan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum mengakibatkan terganggunya kepentingan umum adalah hal yang tidak bisa dihindari. Pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi yang mengganggu kepentingan umum justru seharusnya mendapat perhatian dan perlindungan pihak yang berwenang. Apabila dilakukan secara damai maka tidak perlu dikenakan pidana. Tetapi lain hal apabila peserta pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi melakukan hal-hal yang tidak diinginkan seperti merusak fasilitas umum dan terjadinya kerusuhan yang menimbulkan korban luka dan/atau meninggal. Dengan hal tersebut pihak kepolisian memiliki peran penting, sehingga peserta yang melakukan tindakan-tindakan tersebut dapat dipidana.

Anggota Komisi III DPR Taufik Basari, menyatakan Pasal 256 KUHP terbaru ditujukan bagi pihak yang hendak menggelar aksi unjuk rasa agar terlebih dahulu berkoordinasi dengan pihak aparat keamanan. Dengan begitu, dapat meminimalisir terjadinya gangguan ketertiban umum, lalu lintas jalan, maupun kepentingan pihak-pihak lainnya. Pasal tersebut bukan ditujukan semata-mata unjuk rasa saja, tetapi pasal ini deliknya adalah delik terganggunya ketertiban umum, keonaran, atau huru hara (Hidayat, 2022).

Baca juga: Apakah Benar Sanksi Tindak Pidana Korupsi Dipangkas Dalam KUHP Terbaru?

Pasal 256 KUHP terbaru ini bertujuan untuk para peserta pawai, unjuk rasa maupun demonstrasi selama menyatakan pendapat dilakukan dengan tanggung jawab, aman  dan tertib serta melalui mekanisme pemberitahuan terlebih dahulu kepada aparat yang berwenang. Jika tidak melakukan hal tersebut maka akan mendapatkan sanksi pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. Terkait penerapan KUHP terbaru ini akan disosialisasikan selama 3 (tiga) tahun mendatang terhadap aparat penegak hukum, karena penerapan sanksi pidana ini bergantung dari aparat penegak hukum dalam memahami KUHP terbaru.

Tag: Berita , Artikel , Advokat