Author: Putri Ayu Trisnawati, S.H.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Hak Cipta didefinisikan sebagai hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak Cipta juga merupakan bagian dari kekayaan intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang mempunyai peranan strategis dalam mendukung pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak Cipta sendiri mencakup dua hak lainnya, yakni hak moral dan hak ekonomi. Hal ini termaktub dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta pasal 5 sampai 19.
Untuk melindungi suatu ciptaan berupa hasil karya yang dihasilkan berpotensi atau sengaja dibuat untuk diambil nilai ekonomisnya, maka di sinilah peran dan manfaat dari mendaftarkan hak cipta. Hal ini berkaitan dengan fungsi proteksi. Dengan lebih dulu mendaftarkan hak cipta ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), maka tidak perlu lagi ada kekhawatiran pihak lain yang dapat menyabotase dan mengambil keuntungan dari sebuah karya yang dibangun dengan susah payah.
Di samping fungsi proteksi, manfaat dari mendaftarkan hak cipta ke DKJI adalah fungsi ekonomis. Bilamana ada pihak lain ingin menggunakan karya ciptaan yang telah terdaftar atau dagangnya untuk kepentingan tertentu seperti pemasaran, maka pihak tesebut harus lebih dulu meminta izin kepada pencipta. Pencipta pun memiiki otoritas untuk menolak atau mengiyakan dengan kerja sama tertentu seperti adanya sejumlah uang yang harus dibayarkan atau sebagainya.
Ada beberapa bentuk kegiatan yang dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, antara lain mengutip sebagian atau seluruh ciptaan orang lain yang kemudiaan dimasukkan ke dalam ciptaannya sendiri (tanpa mencantumkan sumber) sehingga membuat kesan seolah-olah karyaannya sendiri (disebut dengan plagiarisme), mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak tanpa mengubah bentuk maupun isi untuk kemudian diumumkan, dan memperbanyak ciptaan orang lain dengan sengaja tanpa izin dan dipergunakan untuk kepentingan komesial.
Adapun batasan-batasan penggunaan, pengambilan, penggandaan, atau pengubahan suatu ciptaan baik sebagian maupun seluruhnya yang tidak termasuk dalam perbuatan yang melanggar hak cipta bila sumbernya disebutkan secara lengkap untuk kepentingan:
- pendidikan, penelitian, penulisan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;
- keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;
- ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
- pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
Untuk lebih jelasnya, batas-batas mengenai perbuatan yang tidak dianggap sebagai perilaku pelanggaran hak cipta dapat dilihat pada pasal 43 – 53 tentang Pembatasan Hak Cipta di dalam Undang-Undang Hak Cipta. Sebagai pencipta karya, kekecewaan tentu akan dirasakan saat melihat pihak lain mengklaim karya terebut sebagai miliknya terlebih jika mendapat keuntungan yang begitu besar. Maka dari itu, pemegang hak cipta berhak melakukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak cipta sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 95 – 104 UU Hak Cipta. Adapun cara penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitase, atau pengadilan (Pengadilan Niaga).
