Author: Putri Ayu Trisnawati, S.H.
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah di sahkan menjadi undang-undang. Namun, hingga saat ini KUHP terbaru tersebut terus menuai kontroversi dari berbagai kalangan masyarakat. Salah satu yang menjadi sorotan adalah pasal penghinaan Presiden yang diatur pada Pasal 217 sampai Pasal 220 KUHP terbaru. Pasal tersebut dinilai mencederai demokrasi akibat pembatasan menyampaikan aspirasi masyarakat berupa kritik yang ditujukan untuk Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal atau delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden telah termuat dalam Pasal 134, Pasal 136 dan Pasal 137 KUHP yang lama. Namun, pada tahun 2006 pasal-pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006. MK berpendapat pasal-pasal tersebut inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Baca juga: Apakah Benar Sanksi Tindak Pidana Korupsi Dipangkas Dalam KUHP Terbaru?
Dalam KUHP terbaru ternyata pasal penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden termuat kembali dengan konsep yang sedikit berbeda. Seharusnya, berdasarkan Putusan MK yang telah menyatakan pasal-pasal tersebut inkonstitusional, dalam KUHP terbaru tidak lagi memuat pasal penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Perbedaan terlihat dari delik, dalam KUHP lama, penghinaan Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan delik biasa, sedangkan dalam KUHP terbaru pasal penghinaan Presiden dan/atau Wakil Presiden, yaitu Pasal 217, Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 merupakan delik aduan.
Berikut ketentuan pidana penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang telah diatur:
Pasal 217 mengatur: “Melarang setiap orang untuk menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun. Bagian kedua penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.”
Pasal 218 mengatur: “(1) melarang setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. (2) mengecualikan perbuatan yang bukan merupakan merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.”
Penjelasan ayat (1) menyebutkan bahwa menyerang kehormatan adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri. Perbuatan menista atau memfitnah masuk dalam kategori itu. Selanjutnya dalam penjelasan ayat (2) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “dilakukan untuk kepentingan umum” adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 219 mengatur: “Melarang setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Pasal 220 mengatur: “(1) tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. (2) pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.” Artinya delik penghinaan Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan delik aduan dan harus ada laporan tertulis dari Presiden atau Wakil Presiden.
Menyikapi hal tersebut dikutip dari Investor.id, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan pasal terkait penghinaan Presiden di KUHP terbaru bukan untuk membungkam demokrasi. Persoalan penghinaan itu sendiri, bahwa sebetulnya yang dimaksudkan penyerangan harkat dan martabat itu hanya dua yaitu menista dan fitnah. Hanya itu saja, tidak lebih dan tidak kurang. Dalam penjelasan itu kami sudah mengatakan bahwa pasal ini tidak dimaksudkan untuk membungkam demokrasi kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat.
Baca juga: Melihat Lebih Jauh Aturan Terkait Kohabitasi dan Perzinaan Dalam RKUHP
Terlepas dari kontroversi yang ada, dengan adanya pasal yang mengatur terkait penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam KUHP terbaru seakan membatasi seseorang untuk memberikan kritik terhadap kinerja seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pada umumnya, kritik menjadi hal yang penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif dalam negara demokratis.
