Author: Nur Laila Agustin, S.H.
Tindak pidana pajak merupakan perbuatan yang melanggar peraturan perundangan-undangan tentunya membawa konsekuensi hukum kepada para pelakunya dengan dijatuhi sanksi pidana, salah satunya adalah pidana denda. Pada umumnya, di Indonesia pidana denda yang diberikan digunakan untuk menggantikan pidana kurungan (Rastiti & Yasa, 2022:2162).
Sanksi pidana denda yang dijatuhkan kepada terpidana harus dibayar selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Penjatuhan sanksi pidana denda dalam tindak pidana perpajakan dapat digunakan untuk pemulihan keuangan negara yang hilang (asset recover). Namun dalam praktiknya sanksi pidana denda yang diputus hakim tidak selalu menjamin terpidana dapat membayar pidana denda tersebut.
Baca juga: Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Perpajakan Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama
Penerapan sanksi pidana denda sebelum disahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), pajak tetap dipungut setelah suatu putusan pidana mempunyai kekuatan hukum tetap, hal tersebut berdasarkan Pasal 13 ayat (5) dan 15 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Dalam UU KUP dijelaskan bahwa meskipun proses hukum pidana berlangsung dalam tindak pidana perpajakan, UU KUP tetap menghendaki adanya pemulihan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan oleh wajib pajak. Pemulihan kerugian keuangan negara tersebut dengan diterbitkannya surat penetapan dan penagihan utang pajak yang timbul dari tindak pidana perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan sanksi pidana yang dijatuhkan kepada terpidana.
Dalam menjalankan putusan pengadilan terhadap terpidana tindak pidana pajak, jaksa eksekutor memiliki wewenang dalam melaksanakan eksekusi pidana denda tersebut. Apabila terpidana membayar pidana denda yang telah dijatuhkan, maka denda tersebut akan menjadi pemasukan negara, akan tetapi jika terpidana tidak dapat membayar pidana denda yang telah dijatuhkan, maka akan digantikan dengan pidana kurungan. Namun, bagaimana jika terdakwa tindak pidana pajak yang dijatuhi sanksi pidana denda oleh hakim tetapi tidak dapat membayar denda yang telah ditentukan?
Salah satu contoh dapat dilihat dalam Putusan Nomor 123/Pid.Sus/2020/PN.Dps dengan terdakwa Sugianto, bahwa tidak dengan tegas terdapat subsidair pidana kurungan yang termuat pada tuntutan maupun putusan pengadilan, dengan amar putusan sebagai berikut:
“pidana penjara selama 2 (dua) Tahun dan pidana tambahan terhadap terdakwa dengan pidana denda sebesar 2 (dua) kali kerugian pada pendapatan negara berupa jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar sebesar Rp 153.288.321,- (seratus lima puluh tiga juta dua ratus delapan puluh delapan ribu tiga ratus dua puluh satu rupiah), sehingga jumlah denda sebesar Rp 306.576.642,- (tiga ratus enam juta lima ratus tujuh puluh enam ribu enam ratus empat puluh dua rupiah.”
Dalam menjalankan eksekusi putusan tersebut, jaksa eksekutor tidak melaksanakan eksekusi pidana denda pada amar putusan, sehingga denda tidak dapat dibayarkan oleh terpidana sehingga putusan hakim tersebut tidak dapat terpenuhi, hal tersebut karena terpidana tidak memiliki harta benda apapun dan tidak menyanggupinya sehingga dilakukan subsidair kurungan oleh jaksa (Rastiti & Yasa, 2022:2163). Akan tetapi, dalam amar putusan diatas hakim tidak menyertakan subsidair kurungan, sehingga terpidana tetap harus membayar denda yang telah ditetapkan. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 44C ayat (1) UU KUP yang menyatakan bahwa “denda tidak dapat disubsidair dengan kurungan melainkan menjadi pajak terhutang yang akan menjadi penerimaan negara dari sektor pajak.”
Subsidair kurungan yang dilakukan oleh jaksa eksekutor tersebut berdasarkan Surat Edaran Petunjuk Teknis Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: B-397/F/Ft.03/2019 tanggal 20 Maret 2019. Jaksa eksekutor dapat mengganti pidana denda dengan pidana kurungan berdasarkan pada poin 2 SE B-397/F/Ft.03/2019 menyatakan: “jika terdakwa tidak membayar denda paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan kemudian dilelang untuk membayar denda. Kemudian diikuti dengan kalimat, dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar denda, maka Terdakwa dijatuhi hukuman kurungan pengganti denda paling lama 6 (enam) bulan.”
Baca juga: Bagaimana Hak Negara Dalam Penyelesaian Utang Pajak Terhadap Perseroan Yang Telah Dinyatakan Pailit?
Sehingga menurut hemat penulis, penerapan SE B-397/F/Ft.03/2019 tersebut tidak menghendaki adanya pemulihan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan oleh terpidana karena adanya subsidair kurungan yang dijalani oleh terpidana tindak pidana perpajakan. Selain itu, pemberlakuan UU Cipta Kerja juga membuat Direktur Jenderal Pajak kehilangan wewenang untuk melakukan penetapan dan penagihan utang pajak yang ditimbulkan dari tindak pidana perpajakan yaitu dengan dihapusnya Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 15 ayat (4) KUP.