(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Oleh: Antonius Gunawan Dharmadji, SH

Sabtu, tanggal 30 Maret 2019 telah terselenggara seminar dengan topik pembahasan Mengevaluasai Pelaksanaan Undang-Undang Kepailitan dalam Upaya Membangun Kepastian Berbisnis di Indonesia di Ruang Pancasila Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. Adapun pembicara dalam seminar ini adalah Ricardo Simanjuntak (Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) 2006-2013), Jimmy Simanjuntak (Bidang Pendidikan dan Pengembangan AKPI), Muhammad Ismak (Ketua Asosiasi Advokat Indonesia (AAI)), Doni Budiono (Pimpinan Konsultan Pajak Doni Budiono), M. Hadi Subhan dan Agus Widyantoro (selaku ahli kepailitan dari FH UNAIR), serta Moh. Ma’ruf Syah (Wakil Ketua UMUM Kamar Dagang (KADIN) Jawa Timur) telah memberikan ulasan secara detail terkait urgensi dari revisi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU K-PKPU).

Ricardo Simanjuntak berpendapat bahwa UU K-PKPU perlu untuk direvisi. Salah satu hal yang perlu ditambahkan adalah adanya insolvency test untuk menilai perusahaan solven atau tidak, sehingga kreditur konkuren dapat mendapatkan perlindungan. Ketika debitur sedang dalam keadaan down kreditur konkuren dapat mengajukan permohonan pailit, sehingga jangan sampai debitur sudah tidak memiliki apa-apa baru diajukan permohonan pailit, inilah pentingnya insolvency test.

Hadi Subhan berpendapat bahwa revisi UU K-PKPU tidaklah genting, karena undang-undang ini dinilai telah dalam jalur yang tepat (on the right track). Alasannya adalah pertama tidak adanya insolvency test, kedua kepailitan dapat dipergunakan sebagai mekanisme penagih utang, dan ketiga kepailitan sudah menjadi alat eksekusi di pengadilan. Ketiga alasan tersebut tidak dapat dipisahkan dari culture (budaya) Indonesia, sebagaimana teori dari Friedman bahwa elemen dari suatu sistem negara tidak terlepas dari: isi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture).

Dari segi struktur hukum kepailitan menjadi salah satu cara agar putusan hakim lebih mudah dieksekusi, dibandingkan dengan upaya hukum perdata yang relatif lama dan para pihak selalu mencari celah agar putusan hakim tidak dapat terlaksana karena hukum adalah detail (the devil is on the detail). Dari segi budaya hukum, masyarakat Indonesia cenderung tidak mau untuk membayar utang, oleh karena itu kepailitan menjadi alat represif untuk menagih utang.

Berkaitan dengan wacana akan adanya insolvency test dalam undang-undang kepailitan yang baru Doni Budiono memberikan pendapatnya dari sudut pandang seorang akuntan bahwa insolvency test sebagai syarat kepailitan tidak perlu. Alasannya adalah insolvency test akan membuat pembuktian kepailitan menjadi tidak sederhana sebagaimana diharuskan dalam Pasal 8 ayat (4) UU K-PKPU. Selain itu tidak adanya kewajibannya untuk membuat laporan keuangan bagi pelaku usaha membuat sulit sekali mendapatkan gambaran dari suatu perusahaan apakah perusahaan ini dapat going Concern atau tidak.

Topik lain yang didiskusikan dalam seminar ini adalah perlindungan hukum bagi kurator. Jimmy Simanjuntak berpendapat bahwa terdapat dilema dalam profesi kurator di satu sisi kurator orang yang ditunjuk berfungsi untuk mengurus dan membereskan berdasarkan putusan pengadilan, di sisi lain kurator harus bertanggung jawab secara pribadi terhadap kesalahan atau kelalaiannya. Salah satunya dapat dilihat dalam Pasal 100 UUK-PKPU menyatakan bahwa kurator harus membuat pencatatan harta pailit paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima surat putusan pengangkatannya sebagai Kurator, namun faktanya untuk mendapatkan salinan putusan hakim memerlukan waktu lebih dari 2 hari, atau idealnya 1 minggu setelah putusan pailit. Sehingga perlu adanya sinergi dari instansi terkait seperti pengadilan terhadap tugas dan fungsi kurator sehingga baru menjadi benar bahwa pertanggungjawaban kurator sampai ke harta pribadi.

Terakhir Muhammad Ismak setuju apabila ada perbaikan dalam UU K-PKPU. Terhadap UU K-PKPU Muhammad Ismak memberkan beberapa poin yang perlu diatur apabila revisi ini direalisasikan. Catatan tersebut terhadap bukti kreditur lain, siapa yang berhak mengajukan PKPU, tentang pemungutan suara, tentang peranan pengurus dan hakim pengawas dalam PKPU, fee pengurus, dan tentang tidak adanya upaya hukum dalam proses PKPU.

UU K-PKPU sejauh ini telah berfungsi dengan baik, akan tetapi perlu ada perubahan terhadap poin-pin tertentu. Hal ini dikarenakan hukum harus dinamis dan mengikuti perkembangan yang ada di masyarakat. Mengingat kepailitan dan PKPU merupakan elemen penting dalam dunia usaha maka pembahasan terhadap perubahan undang-undang ini harus dikaji secara komprehensif dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.