(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Putri Ayu Trisnawati, S.H.

Mengetahui Dasar Pengenaan Pajak (DPP) merupakan hal yang harus dipahami ketika melakukan suatu transaksi. Apabila dalam suatu transaksi pada invoice sudah tertera DPP dan pajak secara terpisah, tentu akan sangat memudahkan dalam perhitungan biaya yang akan dikeluarkan. Sebagai wajib pajak, terutama Pengusaha Kena Pajak (PKP) tentu sudah tidak asing dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN merupakan pajak yang dipungut atas Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang memiliki pertambahan nilai.

Pajak Pertambahan Nilai berkaitan dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan faktur pajak. PKP merupakan pihak yang memproduksi dan menyerahkan BKP/JKP kepada lawan transaksi dan harus memungut PPN serta menerbitkan invoice atas transaksi tersebut. Sejak 1 Juli 2016, PKP di Indonesia wajib membuat e-Faktur atau faktur pajak elektronik sebagai prasyarat pelaporan SPT Masa PPN.

Pajak Pertambahan Nilai telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Wajib Pajak yang sudah berstatus sebagai PKP wajib memunggut PPN dan menerbitkan Faktur Pajak yang harus memenuhi persyaratan pembuatan faktur pajak.

Dalam praktik sering terjadi para pihak baik penjual dan pembeli yang sudah berstatus PKP membuat suatu kontrak perjanjian untuk mengesampingkan PPN atas transaksi yang terjadi. Hal ini dianggap wajar oleh beberapa pihak namun bagi pihak yang mengetahui aspek perpajakan khususnya PPN akan berpikiran lain dan tidak berani melakukannya. Walaupun para pihak baik penjual dan pembeli yang sama-sama telah berstatus sebagai PKP dan mereka membuat suatu kontrak perjanjian yang dimana terdapat klausul untuk tidak memunggut PPN dan tidak menerbitkan Faktur Pajak yang dibuat dihadapan Notaris maka kontrak perjanjian yang dibuat tersebut dapat dikatakan “Batal Demi Hukum”.

Hal ini melanggar Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) tentang syarat-syarat terjadinya suatu persetujuan yang sah, yang mengatur:

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

  1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. suatu pokok persoalan tertentu;
  4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Pada Pasal 1320 KUHPer angka 4 tentang “suatu sebab yang tidak terlarang” adalah merupakan unsur objektif yang dimana apabila ketentuan ini dilanggar maka akibat hukum yang timbul adalah “Batal Demi Hukum”. Dalam Pasal 1 angka 15 UU PPN, mengatur:

Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.

Dalam Pasal 1 angka 23 UU PPN, mengatur:

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

Berdasarkan UU PPN tersebut diatas dan mengacu pada Pasal 1320 KUHPer menunjukkan bahwa suatu kontrak perjanjian yang dibuat berakibat Batal Demi Hukum jika terdapat klausul dalam kontrak perjanjian tersebut yang melanggar suatu undang-undang yang berlaku..