(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Ihda Aulia Rahmah

Pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia dapat dilakukan setelah didaftarkan dan mendapatkan putusan eksekusi dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia dikenal adanya asas ketertiban umum. Asas ketertiban umum ini nantinya dapat digunakan untuk membatasi pelaksanaan arbitrase internasional di Indonesia. Asas ini diatur pada Pasal V ayat 2 Konvensi New York 1958 yang menyatakan bahwa: “Recognition and enforcement of an arbitral award may also be refused if the competent authority in the country where recognition and enforcement is sought finds that: a) The subject matter of the difference is not capable of settlement by arbitration under the law of that country; or b) the recognition and enforcement of the award would be contrary to the public policy of that country.”

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dapat ditolak oleh pihak negara dimana pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut diminta, apabila terdapat 2 (dua) hal yakni: (Farsia & Taufik, 2018:445-446).

  1. Masalah atau sengketa tersebut tidak mungkin atau tidak dapat diselesaikan oleh arbitrase menurut hukum dimana pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut diajukan.
  2. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional tersebut akan bertentangan dengan kebijakan publik dari negara tersebut.

Ketentuan dalam poin kedua tersebut menghendaki putusan arbitrase internasional yang dianggap tidak sesuai dengan norma-norma di negara yang diajukan permohonan eksekusi, untuk menolak eksekusi tersebut. Indonesia sendiri berdasarkan Pasal 66 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU AAPS) mengatur bahwa “Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.”

Baca juga: Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia

Istilah ketertiban umum yang ada dalam UU AAPS ini memiliki banyak penafsiran karena undang-undang memang tidak secara eksplisit memberikan pengertian dari ketertiban umum. Setidaknya terdapat beberapa penafsiran maksud dari bertentangan dengan ketertiban umum yang tercantum dalam Pasal 66 huruf c UU AAPS, yakni: (Basarah, 2010:62-63).

  1. Jika salah satu pihak tidak diberikan kesempatan untuk didengar dengan cukup sebelum keputusan diambil. Namun apabila pihak yang bersangkutan sudah dipanggil, tetapi menolak untuk mengambil bagian atau tidak aktif dalam proses arbitrase, keadaan ini tidak dapat dianggap bertentangan dengan ketertiban umum.
  2. Apabila putusan arbitrase tidak memuat alasan-alasan, maka pelaksanaannya akan bertentangan dengan ketertiban umum. Di beberapa negara, misalnya Italia, Undang-Undang arbitrase setempat mengharuskan putusan arbitrase memuat alasan-alasan yang menjadi dasar putusan tersebut. Tetapi meskipun demikian tidak semua negara mengharuskan dicantumkannya alasan-alasan yang menjadi dasar keputusan arbitrase, umumnya hal ini diberlakukan pada beberapa negara “Common Law.”
  3. Apabila pengambilan keputusan arbitrase melanggar prosedur arbitrase yang bersangkutan, misalnya keputusan tersebut harus dikuatkan oleh Pengadilan setempat.

Banyaknya penafsiran terkait ketertiban umum ini membuat asas ketertiban umum seperti “kuda binal” (unruly horse) yang bisa lari kesana kemari, terutama dalam kaitannya untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Karena pada dasarnya setiap negara yang berdaulat memiliki hak untuk menyetujui atau menentang pelaksanaan putusan arbitrase di dalam wilayahnya. Pelaksanaan putusan arbitrase internasional tunduk pada hukum dimana putusan arbitrase tersebut diajukan permohonan pelaksanaannya (Basarah, 2010:63).

Dalam perjalanannya terdapat beberapa putusan arbitrase internasional yang pelaksanaannya ditolak di Indonesia karena bertentangan dengan ketertiban umum. Salah satu contoh adalah Putusan Arbitrase London yang memenangkan E.D. & F. Man Sugar Ltd. Namun, berdasarkan Putusan No. 001/Pdt/Arb.Int/1999, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak memberikan eksekusi terhadap Putusan Arbitrase London karena berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia yang berhak melakukan impor gula hanya Badan Urusan Logistik (Bulog) sesuai dengan Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1971 dan Keputusan Presiden No. 39 tahun 1978 sehingga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi sependapat memutuskan bahwa Putusan Arbitrase London bertentangan dengan ketertiban umum. Pada kasus ini Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung dalam menafsirkan ketertiban umum menggunakan pelanggaran terhadap hukum nasional sebagai pelanggaran terhadap ketertiban umum, sesuai dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 (Farsia & Taufik, 2018:452).

Selanjutnya dalam kasus Astro Group v. Lippo Group, Astro menggugat Lippo ke Singapore International Arbitration Centre (SIAC) yang kemudian mengeluarkan putusan provisi. Lippo Group tidak menjalankan putusan provisi yang dikeluarkan SIAC, sehingga Astro Group memohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengeksekusi putusan provisi SIAC. Namun Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak atas dasar ketertiban umum, karena menurut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tindakan SIAC mengeluarkan putusan provisi untuk menghentikan sidang pemeriksaan kasus dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia sesuai dengan asas sovereignty dikarenakan kasus tersebut masih dalam proses hukum Indonesia. Artinya, putusan provisi SIAC mengganggu kedaulatan negara dan kedaulatan hukum Indonesia dengan mengintervensi peradilan di Indonesia dan telah membatasi hak seseorang dalam mengajukan gugatan. Dalam pertimbangannya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggunakan asas hukum umum sebagai dasar ketertiban umum (Farsia & Taufik, 2018:453).

Baca juga: Kekuatan Eksekutorial Putusan Arbitrase di Indonesia

Jika melihat pada putusan-putusan tersebut maka dapat diketahui bahwa makna ketertiban umum dalam UU AAPS adalah menggunakan hukum dan kepentingan nasional sebagai tolak ukur. Hal ini juga sejalan dengan definisi ketertiban umum yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Perma No.1 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa “Exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum)”. Merujuk pada ketentuan tersebut maka yang dimaksud dengan ketertiban umum adalah sendi-sendi asasi dari sistem hukum dan masyarakat di Indonesia. Artinya, pelanggaran terhadap hukum nasional merupakan pelanggaran terhadap ketertiban umum (Farsia & Taufik, 2018:448-449). Sehingga berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan tidak semua putusan arbitrase internasional dapat dilakukan eksekusi di Indonesia apabila melanggar ketertiban umum yang berlaku di Indonesia.

Tag: Berita , Artikel , Advokat