Author: Antonius Gunawan Dharmadji, Sh
Sabtu, tanggal 27 April 2019 telah terselenggara seminar Pembentukan Undang-Undang Hukum Perikatan Nasional yang diadakan atas kerja sama Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK), Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga, dan Asosiasi Advokat Airlangga (AAA). Seminar yang diadakan di Gedung A Fakultas Hukum Unair ini mengundang beberapa narasumber, diantaranya: Prof. Sogar Simamora, Prof. Agus Yudha, Prof. Isnaeni, Prof. Otto Hasibuan, Prof. Mohammad Saleh, Prof. Benny Riyanto, dan Dr. Habib Adjie.
Pada awal sesi pertama Prof. Benny Riyanto yang juga sebagai kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menegaskan bahwa rancangan undang-undang hukum perikatan nasional merupakan gagasan yang telah ada sejak lama akan tetapi sampai sekarang belum pernah masuk ke dalam prolegnas nasional. Beliau mengingatkan bahwa apabila gagasan ini benar-benar akan ditindaklanjuti oleh APHK sebagai penggagas undang-undang maka pertama-tama harus jelas terlebih dahulu apakah bentuk undang-undang ini nantinya akan berbentuk kodifikasi ataukah modifikasi secara parsial. Lebih lanjut beliau juga mendorong agar dipersiapkan syarat substantif dan syarat formil agar undang-undang ini bisa masuk ke dalam longlast undang-undang 2020-2025 mendatang.
Prof Otto Hasibuan mewakili profesi advokat menyampaikan beberapa substansi materi yang sebaiknya diatur di dalam undang-undang hukum perikatan nasional, diantaranya: penyelarasan redaksi dan kejelasan definisi perikatan/perjanjian/kontrak, asas keseimbangan, penyalahgunaan keadaan, kuasa, kerugian immateriil dalam PMH dan wanprestasi, penghinaan dan penipuan, jaminan pribadi, batas usia deawasa, dan itikad baik. Beliau menjelaskan bahwa dalam praktiknya sebagai lawyer hal-hal tersebut sering mengalami ketidakpastian terlebih dengan adanya beberapa yurisprudensi dari Mahkamah Agung yang menyimpangi BW.
Pembicara terakhir dalam sesi pertama Prof. Sogar Simamora yang juga sebagai ketua dari APHK menjelaskan bahwa gagasan undang-undang hukum perikatan ini nantinya akan bersifat pasrsial dan tidak terkodifikasi seperti halnya BW. Hal ini beliau utarakan lantaran untuk melakukan kodifikasi BW di Indonesia merupakan pekerjaan yang sulit dan memerlukan waktu yang sangat lama mengingat pluralisme di Indonesia. Beliau juga telah melakukan studi banding di beberapa negara, diantaranya NBW Belanda, BGB Jerman, dan Code Civil Perancis dan Jepang. Nantinya dalam undang-undang perikatan nasional ini akan dibagi ke dalam beberapa bab yang masing-masing akan mengatur perbuatan hukum, perikatan pada umumnya, berakhirnya perikatan, perjanjian tertentu, dan perikatan bersumber selain kontrak.
Mengawali sesi kedua Dr. Habib Adjie menyampaikan pendapatnya terkait pembentukan undang-undang perikatan dalam sudut pandang notaris. Beliau menyampaikan bahwa undang-undang perikatan yang baru nanti harus memperjelas posisi notaris dalam pembuatan akta. Beliau juga menjabarkan bahwa undang-undang tersebut nantinya harus memiliki fungsi yuridis, fungsi menjaga keseimbangan,fungsi sosial kemasyarakatan, dan fungsi ekonomis.
Prof Moh. Saleh sebagai mantan wakil Ketua Mahkamah Agung memberikan pemikirannya dari sudut pandang seorang hakim. Beliau menekankan bahwa terhadap hal-hal yang berbeda dengan prinsip Pancasila dalam norma-norma yang diatur dalam BW harus dirombak, akan tetapi penyesuaian norma-norma tersebut juga perlu memperhatikan kaidah pergaulan internasional.
Prof Isnaeni sebagai salah satu guru besar hukum perdata di Unair juga turut memberikan pendapatnya. Beliau menyampaikan bahwa perbedaan istilah perikatan dengan perjanjian itu telah sangat jelas, di mana perjanjian hanyalah salah satu sumber perikatan bersama dengan undang-undang. Beliau berpendapat apabila ingin membentuk undang-undang perikatan harus hati-hati, terlebih harus memperhatikan buku II BW tentang hukum benda, karena hukum benda dan hukum perikatan termasuk dalam rezim hukum harta kekayaan.
Sebagai pembicara terakhir Prof Agus Yudha menyampaikan pemikirannya bahwa latar belakang perlu segera dibuat undang-undang hukum perikatan nasional adalah karena BW ini telah usang. BW yang telah berlaku sejak tahun 1848 sampai sekarang. Sebagai perbandingan dengan negara lain, undang-undang ini harus juga mengakomodir materi muatan dari negara lain agar Indonesia memiliki iklim investasi yang nyaman bagi investor asing, akan tetapi hal ini harus difilter dengan dasar Pancasila.