(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Fica Candra Isnani

Dalam bidang ketenagakerjaan, sering kita jumpai berbagai jenis perselisihan yang terjadi antara pemberi kerja dan juga pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh. Perselisihan yang melibatkan pemberi kerja dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh ini, lebih banyak menyangkut terkait pembayaran upah, seperti upah pokok, upah lembur, tunjangan dan lain sebagainya. Perselisihan yang terjadi antara pemberi kerja dengan pekerja/buruh seperti halnya upah, termasuk dalam jenis perselisihan hubungan industrial yakni perselisihan hak. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial sendiri, memiliki upaya hukum khusus yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (UU PHI).

Dalam UU PHI penyelesaian sengketa perburuhan mewajibkan agar penyelesaian sengketa diselesaikan secara musyawarah mufakat antara pekerja/buruh dengan pemberi kerja (Mashudi, 2019:21). Dalam ketentuan UU PHI mengatur bahwa, perselisihan hubungan industrial memiliki beberapa tahapan penyelesaian secara non litigasi sebelum sampai pada pengajuan gugatan ke pengadilan (litigasi). Tahapan tersebut meliputi Perundingan Bipartit, Perundingan Tripartit yakni meliputi Konsiliasi, Arbitrase, dan Mediasi. Jika pada tahap perundingan tripartit tersebut masih tidak menghasilkan suatu kesepakatan antara para pihak, maka upaya hukum terakhir yang diatur dalam UU PHI adalah melalui pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Adanya upaya non litigasi bertujuan sebagai upaya dalam melindungi masing-masing kepentingan para pihak dengan mengupayakan penyelesaian diluar pengadilan terlebih dahulu.

Baca juga: Apakah Adanya Klausula Arbitrase Dapat Menghentikan Proses Pengajuan Permohonan Kepailitan?

Dalam kaitannya dengan hukum kepailitan, pekerja/buruh termasuk dalam salah satu kreditor yang memiliki kedudukan sebagai kreditor preferen karena upah pekerja/buruh menjadi piutang istimewa. Hal tersebut didasarkan pada Putusan MK Nomor 67/PUU-XI/2013 yang menempatkan upah pekerja/buruh yang terutang didahulukan pelunasannya atas semua jenis kreditor. Sebagai salah satu kreditor dalam sebuah perusahaan yang berada dalam kondisi tidak mampu membayar tagihan upah, maka pekerja/buruh dalam hal ini memiliki hak dalam mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan tempat pekerja/buruh bersangkutan bekerja sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) terkait syarat permohonan pailit yang mengatur “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”

Selain memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU, penting untuk diperhatikan bahwa pekerja/buruh yang dalam hal ini menjadi pihak pemohon maka harus memiliki dasar putusan perselisihan hubungan industrial yang dikeluarkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berkekuatan hukum tetap sebelum mengajukan permohonan pailit kepada perusahaan yang bersangkutan. Ketentuan ini didasarkan pada aturan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA No. 2 Tahun 2019), yang mana “Permohonan pailit terhadap perusahaan yang tidak membayar hak pekerja hanya dapat diajukan jika hak pekerja tersebut telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang telah berkekuatan hukum tetap dan telah dilakukan proses eksekusi sekurang-kurangnya pada tahap teguran aanmaning yang kedua oleh Ketua Pengadilan Negeri serta hak pekerja yang belum dibayar tersebut dianggap sebagai satu utang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

Baca juga: Urgensi Insolvency Test Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia

Berdasarkan aturan SEMA No 2 Tahun 2019, maka dapat disimpulkan bahwa dalam hal pekerja/buruh yang hendak mengajukan permohonan pailit, maka harus didahului dengan adanya putusan PHI yang telah berkekuatan hukum tetap. Adanya syarat putusan PHI atas pengajuan permohonan pailit yang diajukan oleh pekerja/buruh memang terkesan memakan banyak waktu dan berbelit-belit, namun menurut penulis dengan adanya syarat putusan PHI bagi pekerja/buruh yang hendak mengajukan permohonan pailit, dapat menjadi solusi penyelesaian perselisihan upah yang terjadi antara pekerja/buruh dengan perusahaan tempat pekerja/buruh bekerja. Dalam hal perusahaan ternyata tidak memiliki itikad baik dalam menjalankan putusan PHI, maka permohonan pailit dapat menjadi solusi yang tepat dalam mengupayakan hak-hak upah para pekerja/buruh.

Download:

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019

Tag: Berita , Artikel , Kurator dan Pengurus