(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Brillian Feza Eryan Prasetya

Demokrasi saat ini merupakan hal substansial yang menjadi atensi tersendiri dalam aspek kehidupan masyarakat. Hal tersebut beralasan, sebab hak masyarakat untuk dapat ikut serta dalam kegiatan politik dapat terpenuhi dengan adanya sistem demokrasi yang berlaku pada suatu negara. Secara yuridis, berdasarkan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) negara menjamin hak masyarakat atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapatnya di muka umum. Salah satu contoh pelaksanaan demokrasi dalam UUD NRI 1945 adalah mengamanatkan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu), yang telah disepakati sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat dalam kehidupan berbangsa serta bernegara.

Pemilu berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diartikan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Hal tersebut pada prinsipnya diatur untuk melaksanakan pemilihan terhadap Dewan perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Presiden beserta dengan wakilnya. Jadi apabila melihat formasi calon terpilih dalam Pemilu tersebut, maka dapat dipahami bahwa penyelenggaraan Pemilu sangat menentukan arah kehidupan bangsa dan negara di masa yang akan datang.

Baca juga: Subjek Hukum Dalam Sengketa Tata Usaha Negara Pasca Berlakunya UU Administrasi Pemerintahan

Berkaitan dengan Pemilu, belum lama ini terdapat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang pada amarnya terdapat perintah untuk menunda penyelenggaraan Pemilu melalui putusan perakara nomor: 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. Dalam perkara a quo, sengketa yang terjadi pada pokoknya ialah mengenai adanya salah satu pihak calon peserta Pemilu yaitu Partai Prima, yang merasa dirugikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena tidak lolos dalam seleksi administrasi Pemilu (Kemensetneg RI, 2023).

Dalam salah satu amar putusan tersebut menyatakan “Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari.” Berdasarkan hal tersebut maka dapat diketahui bahwa sengketa yang terjadi dalam perkara a quo ialah berkaitan dengan sengketa proses dalam Pemilu. Dalam tulisan ini, penulis akan lebih fokus membahas mengenai kompetensi absolut dari pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa proses Pemilu.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), setiap lembaga peradilan pada prinsipnya telah diatur pembagian tugas dan kewenangannya di dalam mengadili suatu perkara. Sehingga berkaitan dengan adanya perkara sengketa proses Pemilu yang terjadi sebagaimana tersebut di atas, secara yuridis merupakan bagian dari kompetensi absolut PTUN yang dalam penyelesaiannya dilakukan melalui suatu majelis khusus berdasarkan Pasal 469 ayat (2) Jo. Pasal 472 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).

Dalam fakta persidangan berdasarkan salinan putusan perkara nomor: 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, sengketa proses Pemilu yang terjadi diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan dasar Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum atau onrechtmatigedaad (PMH). Sebelumnya perkara tersebut telah diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta melalui perkara nomor: 425/G/2022/PTUN.JKT. Namun, berdasarkan pertimbangan Hakim dalam salinan putusan perkara nomor: 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, terdapat penegasan bahwa perkara tersebut diputus “tidak dapat diterima” oleh PTUN Jakarta dalam penetapan dismissal-nya. Dalam praktik, memang sering terjadi permasalahan dalam pengajuan perkara di pengadilan akibat kaburnya batas antara peradilan perdata dengan PTUN (Sulistiyono & Isharyanto, 2018: 276-277).

Menurut R. Wiyono, suatu perkara TUN memungkinkan untuk dapat diajukan secara perdata melalui gugatan PMH apabila suatu perkara TUN diputus oleh PTUN dengan tanpa mencantumkan uang paksa, sedangkan Tergugat ternyata tidak bersedia melaksanakan putusan tersebut (Wiyono, 2016: 237-238). Dalam hal yang dimaksud dengan “melaksanakan putusan”, pada dasarnya adalah kewajiban yang diberikan kepada Tergugat dalam suatu putusan perkara TUN, untuk mencabut KTUN yang disengketakan dan menerbitkan KTUN baru yang sesuai dengan putusan pengadilan terkait.

Berdasarkan Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP), diketahui bahwa KTUN yang menjadi objek sengketa tata usaha negara (TUN) dapat berupa ketetapan tertulis atau tindakan faktual dari badan atau pejabat TUN. Hal ini memicu perluasan kompetensi absolut dari PTUN, sebagaimana yang terjadi pada pengaturan penyelesaian sengketa proses Pemilu dalam UU Pemilu. Berdasarkan Pasal 469 ayat (2) UU Pemilu, PTUN masih diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa proses Pemilu. Hal tersebut tentu akan berpengaruh terhadap pemaknaan konsep KTUN dalam kerangka hukum administrasi negara, sebab kedudukan komisioner KPU dalam sistem ketatanegaraan adalah sebagai pejabat negara dan bukan sebagai pejabat TUN (Tjandra, 2013: 161).

Baca juga: Gugatan Voluntair Dalam Rezim Hukum Peradilan Tata Usaha Negara

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa proses Pemilu semestinya dilakukan melalui PTUN dengan pembentukan majelis khusus, berdasarkan Pasal 469 ayat (2) Jo. Pasal 472 ayat (1) UU Pemilu. Sedangkan penyelesaian perkara TUN di Pengadilan Negeri hanya bisa dilakukan terhadap tuntutan ganti rugi atas tidak dilaksanakannya putusan PTUN oleh pihak Tergugat.

Download:

Putusan nomor: 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.

Tag: Berita , Artikel , Advokat