Author: Novita Indah Sari, S.H.
Mengetahui tenggang waktu pengajuan gugatan merupakan hal yang sangat penting dalam mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini bertujuan agar dalam upaya mencari keadilan tidak pupus atau terhenti hanya karena telah lewat batas waktunya. Berdasarkan Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun) menyebutkan bahwa “Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.”
Tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari tersebut merupakan masa-masa krusial bagi penggugat untuk mengajukan gugatan, karena apabila tenggang waktu tersebut terlampaui, maka hilanglah hak menggugat seseorang yang kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Adanya pembatasan tenggang waktu pengajuan gugatan bukan tanpa alasan, melainkan untuk menjamin kepastian hukum dan stabilitas pemerintahan (Yunantyo Adi Setiawan, 2022: 108).
Namun demikian, ketentuan tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari ini ternyata menimbulkan polemik tersendiri. Di satu sisi, ketentuan batas waktu pengajuan gugatan merupakan upaya untuk menegakkan kepastian hukum. Disisi lain, keberadaan batas waktu tersebut dirasakan telah mencederai hak asasi manusia untuk membela kepentingannya dihadapan hukum. Sebut saja kepentingan pihak ketiga yang tidak dituju oleh KTUN namun kepentingannya dirugikan.
Permasalahan yang sering terjadi yakni perkara sengketa tanah yang diajukan ke PTUN. Penggugat baru merasa dirugikan ketika ia hendak mengajukan permohonan pembuatan sertifikat tanah kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN), namun pengajuan tersebut ditolak karena telah terbit sertifikat tanah atas nama orang lain. Padahal secara fisik tanah tersebut telah ia kuasai secara turun menurun dan belum pernah dijual atau dialihkan. Sehingga, atas permasalahan tersebut penggugat mengajukan gugatan ke PTUN agar sertifikat tanah atas nama orang lain tersebut dibatalkan dan dicabut.
Lantas yang menjadi pertanyaan, kapankah tenggang waktu 90 hari itu dihitung? Pasal 55 UU Peratun tidak mengatur secara limitatif tentang tata cara perhitungan tenggang waktu bagi pihak ketiga yang tidak dituju secara langsung atau bukan sebagai alamat (adresat) yang dituju KTUN (Yunantyo Adi Setiawan, 2022: 110). Dalam kasus di atas, penggugat bukan orang yang dituju KTUN (sertifikat tanah) melainkan orang lain, akan tetapi kepentingan penggugat dirugikan atas terbitnya sertifikat tanah tersebut. Jika menerapkan Pasal 55, yaitu dihitung sejak diterimanya atau diumumkannya KTUN, maka akan sangat merugikan kepentingan penggugat yang merupakan pihak ketiga. Hal ini karena bisa jadi penggugat baru mengetahui adanya sertifikat tanah tersebut setelah lewat 90 hari sejak sertifikat tanah tersebut terbit.
Maka untuk mengatasi permasalahan tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 1991 yang menentukan bahwa, “Bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetapi yang merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dihitung secara kasuistis sejak ia merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan mengetahui adanya Keputusan tersebut.” Sehingga berdasarkan SEMA tersebut, tenggang waktu 90 hari bagi pihak ketiga yang hendak mengajukan gugatan harus dihitung secara kasuistis sejak pihak ketiga yang bersangkutan merasa kepentingannya dirugikan dan mengetahui adanya KTUN tersebut. Terhadap suatu KTUN, pihak ketiga dapat mengetahuinya baik secara langsung dari badan/pejabat yang mengeluarkan KTUN, pengumuman, melalui permohonan kepada badan/pejabat yang menerbitkan KTUN, atau dari pihak lain yang terkait (Yunantyo Adi Setiawan, 2022: 110).
Kemudian dalam perkembangannya, Mahkamah Agung mengeluarkan ketentuan baru mengenai tenggang waktu dalam SEMA No. 3 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa, “Tenggat waktu 90 (Sembilan puluh) hari untuk mengajukan gugatan bagi pihak ketiga yang tidak dituju oleh keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang semula dihitung sejak yang bersangkutan merasa kepentingannya dirugikan oleh keputusan tata usaha negara dan sudah mengetahui adanya keputusan tata usaha negara tersebut diubah menjadi dihitung sejak yang bersangkutan pertama kali mengetahui keputusan tata usaha negara yang merugikan kepentingannya.” Sehingga berdasarkan ketentuan SEMA tersebut dihubungkan dengan kasus sebelumnya, maka tenggang waktu 90 hari dihitung sejak penggugat yang merupakan pihak ketiga mengetahui pertama kali adanya KTUN (sertifikat tanah) yang merugikan kepentingannya. Jadi bukan dihitung sejak sertifikat tanah tersebut terbit.
Baca juga: Tidak Semua KTUN Dapat Menjadi Objek Sengketa TUN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan perhitungan tenggang waktu antara pihak yang dituju langsung oleh KTUN dengan pihak ketiga atau pihak yang tidak dituju langsung oleh KTUN adalah berbeda. Tenggang waktu pengajuan gugatan bagi pihak yang dituju langsung oleh KTUN dihitung 90 hari sejak diterimanya atau diumumkannya KTUN. Sedangkan tenggang waktu pengajuan gugatan bagi pihak ketiga yang tidak dituju langsung oleh KTUN dihitung 90 hari sejak pertama kali pihak ketiga tersebut mengetahui adanya KTUN yang merugikan kepentingannya tersebut.