Author: Novita Indah Sari, S.H.
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan aturan perubahannya selanjutnya disebut UU Peratun). Menurut UU Peratun, seseorang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan atas diterbitkannya KTUN dapat mengajukan gugatan ke PTUN. Namun, tidak semua KTUN yang merugikan dapat diajukan gugatan ke PTUN. Terdapat pengecualian KTUN yang dapat digugat ke PTUN, pengecualian tersebut dapat dilihat dalam Pasal 2 dan Pasal 49 UU Peratun.
Menurut Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 UU Peratun, KTUN yang tidak termasuk dalam pengertian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 UU Peratun meliputi: Pertama, KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata, misalnya keputusan yang menyangkut masalah jual beli yang dilakukan antara instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata. Kedua, KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum, yaitu pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.
Baca juga: Apakah Objek Keputusan DJP Dapat Diajukan ke PTUN?
Ketiga, KTUN yang masih memerlukan persetujuan, yaitu keputusan yang untuk dapat berlaku masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain. Dalam kerangka pengawasan administratif yang bersifat preventif dan keseragaman kebijaksanaan, seringkali pengaturan yang menjadi dasar keputusan menentukan bahwa sebelum berlakunya Keputusan Tata Usaha Negara diperlukan persetujuan instansi atasan terlebih dahulu. Adakalanya peraturan dasar menentukan bahwa persetujuan instansi lain itu diperlukan karena instansi lain tersebut akan terlibat dalam akibat hukum yang akan ditimbulkan oleh keputusan itu. Namun, untuk keputusan yang masih memerlukan persetujuan tetapi sudah menimbulkan kerugian dapat digugat di Pengadilan Negeri.
Keempat, KTUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP atau KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana. KTUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP misalnya dalam perkara lalu lintas, dimana terdakwa dipidana dengan suatu pidana bersyarat, yang mewajibkannya memikul biaya perawatan si korban selama dirawat di rumah sakit. Karena kewajiban itu merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh terpidana, maka jaksa menurut Pasal 14 huruf d KUHP ditunjuk mengawasi dipenuhi atau tidaknya syarat yang dijatuhkan dalam pidana itu, lalu mengeluarkan perintah kepada terpidana agar segera mengirimkan bukti pembayaran biaya perawatan kepadanya. Adapun KTUN berdasarkan ketentuan KUHAP misalnya ketika penuntut umum mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap tersangka. Sedangkan KTUN berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana misalnya perintah jaksa untuk melakukan penyitaan barang-barang terdakwa dalam perkara tindak pidana ekonomi.
Kelima, KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku, misalnya Dirjen Agraria yang mengeluarkan sertifikat tanah atas nama seseorang yang didasarkan atas pertimbangan putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang menjelaskan bahwa tanah sengketa tersebut merupakan tanah negara dan tidak berstatus tanah warisan yang diperebutkan para pihak; keputusan yang didasarkan pada amar putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; atau keputusan pemecatan seorang notaris oleh Menteri kehakiman, setelah menerima usul ketua pengadilan negeri atas dasar kewenangannya menurut ketentuan Pasal 54 UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Keenam, KTUN mengenai tata usaha TNI, merupakan kompetensi absolut Peradilan Militer. Ketujuh, keputusan KPU baik pusat maupun daerah mengenai hasil pemilu, merupakan kewenangan MK.
Selain itu, apabila merujuk pada Pasal 49 UU Peratun, disebutkan bahwa pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN apabila KTUN yang disengketakan itu dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Baca juga: Keputusan Fiktif Positif Sebagai Objek Sengketa di PTUN Pasca Berlakunya PERPPU Cipta Kerja
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa KTUN yang masuk dalam kategori atau memenuhi unsur-unsur dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 49 UU Peratun, tidak dapat dijadikan objek sengketa TUN. Adapun yang dapat menjadi objek sengketa TUN adalah KTUN yang memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU Peratun.